Custom Search

Rabu, 14 Mei 2008

Kresna


Kresna atau Krishna (Dewanagari: कृष्ण; dilafalkan kṛṣṇa menurut IAST; dilafalkan 'kɹ̩ʂ.nə dalam bahasa Sanskerta) adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu karena dianggap merupakan aspek dari Brahman.[1] Ia disebut pula Nārāyana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di Waikuntha. Ia biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawadgita). Dalam Agama Hindu pada umumnya, Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu yang kedelapan, dan dianggap sebagai Dewa yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya Waisnawa, Kresna dipuja sebagai sumber dari segala awatara (termasuk Wisnu).

Menurut kitab Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh raja yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Dalam kitab Bhagawadgita, ia adalah perantara kepribadian Brahman yang menjabarkan ajaran kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Ia mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata akan berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha.
Asal usul nama "Krishna"

Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna berarti "hitam" atau "gelap", dan kata ini umum digunakan untuk menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita dijabarkan bahwa Krishna memiliki warna kulit gelap bersemu biru langit.[3] Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat. Sebagai Contoh, di Kuil Jaganatha, di Puri, Orissa, India (nama Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Kresna sebagai penguasa jagat raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa dan Subadra yang berkulit cerah.

Nama lain

Kresna sebagai awatara sekaligus orang bijaksana memiliki banyak sekali nama panggilan sesuai dengan kepribadian atau keahliannya. Nama panggilan tersebut digunakan untuk memuji, mengungkapkan rasa hormat, dan menunjukkan rasa persahabatan atau kekeluargaan. Nama panggilan Kresna di bawah ini merupakan nama-nama dari kitab Mahabarata dan Bhagawadgita versi aslinya (versi India). Nama panggilan Kresna adalah:

1. Achyuta (Acyuta, yang tak pernah gagal)
2. Arisudana (penghancur musuh)
3. Bhagavān (Bhagawan, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa)
4. Gopāla (Gopaala, Pengembala sapi)
5. Govinda (Gowinda, yang memberi kebahagiaan pada indria-indria)
6. Hrishikesa (Hri-sikesa, penguasa indria)
7. Janardana (juru selamat umat manusia)
8. Kesava (Kesawa, yang berambut indah)
9. Kesinishūdana (Kesini-sudana, pembunuh raksasa Kesin)
10. Mādhava (Madawa, suami Dewi Laksmi)
11. Madhusūdana (Madu-sudana, penakluk raksasa Madhu)
12. Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa)
13. Mahāyogi (Maha-yogi, rohaniawan besar)
14. Purushottama (Purusa-utama, manusia utama, yang berkepribadian paling baik)
15. Varshneya (Warsneya, keturunan wangsa Wresni)
16. Vāsudeva (Waasudewa, putera Basudewa)
17. Vishnu (Wisnu, penitisan Batara Wisnu)
18. Yādava (Yaadawa, keturunan dinasti Yadu)
19. Yogesvara (Yoga-iswara, penguasa segala kekuatan batin)

Kehidupan Sang Kresna

Ikthisar kehidupan Sri Kresna di bawah ini diambil dari Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana. Lokasi dimana Kresna diceritakan adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat. Kutipan pada permulaan dan akhir cerita merupakan teologi yang tergantung pada sudut pandang cerita.
Penitisan

Kutipan di bawah ini menjelaskan alasan mengapa Wisnu menjelma. Dalam sebuah kalimat dalam Bhagawatapurana:
Kresna
Dewa Brahma memberitahu para Dewa: Sebelum kami menyampaikan permohonan kepada Beliau, Beliau sudah sadar terhadap kesengsaraan di muka bumi. Maka dari itu, selama Beliau turun ke bumi demi menuntaskan kewajiban dengan memakai kekuatan-Nya sendiri sebagai sang waktu, wahai kalian para Dewa semuanya akan mendapat bagian untuk menjelma sebagai para putera dan cucu dari keluarga Wangsa Yadu.
Kresna

Kitab Mahabharata yang pertama (Adiparwa, bagian Adiwansawatarana) memberikan alasan yang serupa, meskipun dengan perbedaan yang kecil dalam bagian-bagiannya.
Kelahiran

Kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi mengatakan bahwa Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.[5]

Kresna berasal dari keluarga bangsawan di Mathura, dan merupakan putera kedelapan yang lahir dari puteri Dewaki, dan suaminya Basudewa. Mathura adalah ibukota dari wangsa yang memiliki hubungan dekat seperti Wresni, Andhaka, dan Bhoja. Mereka biasanya dikenali sebagai Yadawa karena nenek moyang mereka adalah Yadu, dan kadang-kadang dikenal sebagai Surasena setelah adanya leluhur terkemuka yang lain. Basudewa dan Dewaki termasuk ke dalam wangsa tersebut. Raja Kamsa, kakak Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya ke penjara, yaitu Raja Ugrasena. Karena takut terhadap ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan salah satu putera Dewaki, maka ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara dan berencana akan membunuh semua putera Dewaki yang baru lahir. Setelah enam putera pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putera ketujuhnya, lahirlah Kresna. Karena hidupnya terancam bahaya maka ia diselundupkan keluar dan dirawat oleh orangtua tiri bernama Yasoda dan Nanda di Gokula, Mahavana. Dua anaknya yang lain juga selamat yaitu, Baladewa alias Balarama (putera ketujuh Dewaki, dipindahkan ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putera dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).

Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.
Lukisan yang menggambarkan Kresna sedang mengangkat Bukit Gowardhana. Salah satu koleksi dari Institusi Smithsonian.

Masa kanak-kanak dan remaja

Nanda merupakan pemimpin di komunitas para pengembala sapi, dan ia tinggal di Vrindavana. Kisah tentang Kresna saat masa kanak-kanak dan remaja ada di sana termasuk dengan siapa dia tinggal, dan perlindungannya kepada orang-orang sekitar. Kamsa yang mengetahui bahwa Kresna telah kabur terus mengirimkan raksasa (seperti misalnya Agasura) untuk membinasakannya. Sang raksasa akhirnya terkalahkan di tangan Kresna dan kakaknya, Baladewa. Beberapa di antara kisah terkenal tentang keberanian Kresna terdapat dalam petualangan ini serta permainannya bersama para gopi (pengembala perempuan) di desa, termasuk Radha. Kisah yang menceritakan permainannya bersama para gopi kemudian dikenal sebagai Rasa lila.
Kresna Sang Pangeran

Kresna yang masih muda kembali ke Mathura, dan menggulingkan kekuasaan pamannya – Kamsa – sekaligus membunuhnya. Kresna menyerahkan tahta kembali kepada ayah Kamsa, Ugrasena, sebagai Raja para Yadawa. Ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut. Dalam masa ini ia menjadi teman Arjuna serta para pangeran Pandawa lainnya dari Kerajaan Kuru, yang merupakan saudara sepupunya, yang tinggal di sisi lain Yamuna. Kemudian, ia memindahkan kediaman para Yadawa ke kota Dwaraka (di masa sekarang disebut Gujarat). Ia menikahi Rukmini, puteri dari Bismaka dari Kerajaan Widarbha.

Menurut beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan orang di antaranya merupakan istri terkemuka, termasuk di antaranya Radha, Rukmini, Satyabama, dan Jambawati. Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang lain ditawan oleh Narakasura, sampai akhirnya Kresna membunuh Narakasura dan membebaskan mereka semua. Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka masih di bawah kekuasaan Narakasura, namun Kresna dengan gembira menyambut mereka sebagai puteri bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari berbagai wujud Dewi Laksmi.

Bharatayuddha dan Bhagawad Gita

Kresna merupakan saudara sepupu dari kedua belah pihak dalam perang antara Pandawa dan Korawa. Ia menawarkan mereka untuk memilih pasukannya atau dirinya. Para Korawa mengambil pasukannya sedangkan dirinya bersama para Pandawa. Ia pun sudi untuk menjadi kusir kereta Arjuna dalam pertempuran akbar. Bhagawadgita merupakan wejangan yang diberikan kepada Arjuna oleh Kresna sebelum pertempuran dimulai.
Kresna menunjukkan wujud Wiswarupa kepada Arjuna, sebagai bukti bahwa ia adalah titisan Wisnu.

Kehidupan di kemudian hari

Setelah perang, Kresna tinggal di Dwaraka selama 36 tahun. Kemudian pada suatu perayaan, pertempuran meletus di antara para kesatria Wangsa Yadawa yang saling memusnahkan satu sama lain. Lalu kakak Kresna – Baladewa – melepaskan raga dengan cara melakukan Yoga. Kresna berhenti menjadi raja kemudian pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon melakukan meditasi. Seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna seperti rusa kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian. Menurut Mahabharata, kematian Kresna disebabkan oleh kutukan Gandari. Kemarahannya setelah menyaksikan kematian putera-puteranya menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu menghentikan peperangan. Setelah mendengar kutukan tersebut, Kresna tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya adalah bertempur di pihak yang benar, bukan mencegah peperangan.

Menurut referensi dari Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, ditafsirkan bahwa Kresna wafat sekitar tahun 3100 SM.[6] Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk. Setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan pemerintahan mereka terjadi saat permulaan zaman Kaliyuga. Selanjutnya dikatakan bahwa Kaliyuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima berarti tahun 2007 sama dengan tahun 5108 (atau semacam itu) semenjak Kaliyuga.[7]

Hubungan keluarga
Ayah Kresna adalah Prabu Basudewa, yang merupakan saudara lelaki (kakak) dari Kunti atau Partha, istri Pandu yang merupakan ibu para Pandawa, sehingga Kresna bersaudara sepupu dengan para Pandawa. Saudara misan Kresna yang lain bernama Sisupala, putera dari Srutadewa alias Srutasrawas, adik Basudewa. Sisupala merupakan musuh bebuyutan Kresna yang kemudian dibunuh pada saat upacara akbar yang diselenggarakan Yudistira.

Kresna dalam pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para keturunan Yadu (Yadawa) dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura. Ia (dengan nama kecil "Narayana") dilahirkan sebagai putera kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya dikenal sebagai Baladewa (alias Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak lain adalah istri dari Arjuna. Ia memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Istri isterinya adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Anak-anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.

Pada perang Bharatayuddha, beliau adalah sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding sebagai sais Arjuna, beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawadgita.

Kresna dikenal sebagai seorang yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia, pusaka-pusaka sakti, antara lain Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, terompet kerang (Sangkala) Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.

Setelah meninggalnya Prabu Baladewa (Resi Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni dan Yadawa, Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantara panah seorang pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya.

Kresna dalam Bhagawadgita

Kresna dianggap sebagai penjelmaan Sang Hyang Triwikrama, atau gelar Bhatara Wisnu yang dapat melangkah di tiga alam sekaligus. Ia juga dipandang sebagai perantara suara Tuhan dalam menjalankan misi sebagai juru selamat umat manusia, dan disetarakan dengan segala sesuatu yang agung. Kutipan di bawah ini diambil dari kitab Bhagawadgita (percakapan antara Kresna dengan Arjuna) yang menyatakan Sri Kresna sebagai awatara.

Krepa


Krepa atau Kripa (Kṛpa; Kripacharya), adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Resi Bharadwaja, dan menjadi guru para pangeran Kuru di Hastinapura.

Pada mulanya, ia hidup di hutan bersama dengan adiknya yang bernama Kripi. Suatu ketika Prabu Santanu dari Hastinapura berburu ke tengah hutan. Karena merasa kasihan dengan keadaan mereka, ia memungut Krepa dan Kripi, lalu diberi pendidikan. Karena kemahiran Krepa dalam ilmu menggunakan senjata, akhirnya ia diangkat menjadi pejabat di Hastinapura dan diberi kepercayaan untuk mendidik para pangeran Kuru (Pandawa dan Korawa).

Ketika Karna menantang Arjuna di sebuah stadion, Krepa menanyakan asal-usul Karna. Pertanyaan itu tidak bisa dijawab Karna. Akhirnya Duryodana datang lalu membela Karna. Ia juga mengangkat Karna menjadi raja di Angga.

Krepa berperang pada pihak Korawa pada saat Bharatayuddha (perang keluarga Bharata). Sebelum berperang, Yudistira memberi penghormatan kepadanya. Krepa mengatakan bahwa ia tidak bisa dibunuh. Meskipun demikian, hal itu tidak membuat Korawa menang. Krepa juga berkata bahwa kemenangan sesungguhnya berpihak pada tokoh yang benar, yaitu para Pandawa.

Ketika Bharatayuddha berakhir, dari pihak Korawa hanya Krepa, Kertawarma dan Aswatama yang masih hidup, beserta sejumlah serdadu. Karena Aswatama marah dengan kekejaman Drestadyumna dari pihak Pandawa yang telah membunuh ayahnya, maka ia menyusup ke kemah Pandawa pada malam hari. Krepa turut serta.

Krepa juga dikenal sebagai Chiranjiwin, atau "makhluk berumur panjang".



Kertawarma


Kertawarma (Sansekerta: कृतवर्म; Kṛtavarmā) atau Kritawarman adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan golongan Wangsa Wresni-Yadawa yang tinggal di Dwaraka. Dalam perang di Kurukshetra, ia memihak Duryodana (Korawa).

Kertawarma merupakan salah satu kesatria Korawa yang berhasil bertahan hidup bersama Aswatama dan Krepa. Bersama-sama dengan mereka berdua, ia membunuh para kesatria pihak Pandawa yang sedang tidur, yaitu kelima putera Dropadi, Drestadyumna, dan Srikandi. Peristiwa tersebut dilakukan pada akhir Bharatayuddha (perang di Kurukshetra).

Tiga puluh enam tahun setelah perang besar terjadi, ia tewas dalam perang saudara yang terjadi antara Wangsa Wresni dan Yadawa. Kepalanya dipenggal oleh Satyaki dan dilakukan di hadapan Sri Kresna.

Karna


Karna (Sansekerta: कर्ण; Karṇa) alias Radheya adalah salah satu tokoh dari wiracaritaMahabharata yang terkenal. Ia sebenarnya adalah masih saudara satu ibu dengan tiga Pandawa, yaitu Yudistira, Werkodara dan Arjuna (Nakula dan Sadewa bukan saudara langsung Karna, melainkan saudara sepupunya).
Arti nama

Dalam bahasa Sansekerta, nama Karna secara harfiah berarti telinga. Dalam makna yang tersirat, kata "Karna" dapat juga berarti "terampil" atau "pandai". Karna juga menyandang nama "Radheya" saat masih kecil. Nama itu diberikan oleh orangtua tirinya, yaitu Adirata dan Radha. Nama "Radheya" secara harfiah berarti "putera Radha".

Anggapan terkenal mengatakan bahwa kata "Karna" dipilih sebab ia dilahirkan melalui telinga, namun anggapan tersebut tidak selamanya benar sebab beberapa versi mengatakan bahwa Karna lahir normal, dan keperawanan ibunya (Kunti) kembali lagi setelah melahirkan. Setelah bayi tersebut dilahirkan, Kunti tidak memberinya nama dan menghanyutkannnya ke sungai Aswa, lalu dipungut oleh Adirata sebagai hadiah bagi Radha. Semenjak saat itu, bayi yang dipungut oleh Adirata diberi nama Radheya. Tidak ada yang mengetahui asal-usul Karna dan bagaimana Karna dilahirkan, sampai Kunti membeberkan rahasia yang sebenarnya.

Kelahiran

Karna merupakan putera dari Kunti, ibu para Pandawa, dan ayahnya adalah Dewa Surya. Dalam Mahabharata diceritakan bahwa pada masa mudanya, Kunti diberi suatu anugerah oleh Resi Durwasa, agar mampu memanggil para Dewa dan memohon anugerah darinya. Setelah menerima anugerah tersebut, Kunti mencoba memanggil Dewa Surya. Dewa Surya pun datang ke hadapan Kunti dan menanyakan apa keinginannya. Dewi Kunti berkata bahwa ia hanya mencoba anugerah yang diberikan kepadanya, dan ia meminta agar Sang Dewa kembali ke tempat beliau. Namun Dewa Surya menolak untuk pergi ke kahyangan sebab mantra yang diberikan oleh Resi Durwasa juga berfungsi untuk meminta anak dari dewa yang telah dipanggil. Kunti yang tidak mengetahui hal tersebut menjadi terkejut. Ia tidak ingin menikah di usia muda. Akhirnya Dewa Surya berjanji bahwa kelak setelah Kunti melahirkan puteranya, keperawanannya akan dikembalikan lagi.

Kemudian Dewa Surya memberikan anugrah (dengan menyabda Kunti) berupa putra dalam kandungan Kunti, setelah itu Sang Dewa kembali ke asalnya. Beberapa lama kemudian, seorang putera lahir. Tanda-tanda bahwa kelak ia akan menjadi kesatria besar sudah tampak dari bentuk fisiknya. Sejak lahir, Karna telah menerima anugerah berupa sepasang pakaian perang, lengkap dengan sebuah kalung yang indah terpasang di lehernya. Karena tidak ingin menimbulkan desas-desus, setelah Kunti melepaskan seluruh pakaian perang yang dikenakan Karna, Kunti memasukkan putera tersebut ke dalam keranjang dan menghanyutkannya ke sungai Aswa. Putera tersebut dipungut oleh seorang kusir (kasta Suta) di keraton Hastinapura bernama Adirata. Sejak saat itu, Karna menjadi putera Adirata dan Radha, yang sebenarnya merupakan orangtua tirinya. Karena diasuh di keluarga yang berkasta Suta, Karna pun sering mendapat diskriminasi.

Kepribadian

Karna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah yang hampir setara dengan Arjuna. ia mahir berperang, namun bakatnya terperangkap dalam status sosial yang rendah. Hal itu membuatnya haus akan status yang memberikannya identitas. Meskipun Karna diasuh dalam keluarga yang berkasta rendah, ia memiliki sikap seorang ksatria, meskipun jarang yang mengakuinya. Ia memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan Duryodana, yang telah mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga, sekaligus menaikkan statusnya. Atas perlakuan baik yang dilakukan Duryodana terhadap dirinya, Karna berjanji bahwa ia akan selalu berada di pihak Duryodana. Kebencian Karna terhadap Arjuna bertemu dalam satu jalan dengan kebencian Duryodana terhadap para Pandawa.

Karna memiliki persaingan yang sangat hebat dengan Arjuna, dan berambisi bahwa ia akan membunuh Arjuna saja saat Bharatayuddha, bukan Pandawa yang lain. Sebelum Bharatayuddha, Kunti datang ke hadapan Karna dan mengatakan bahwa ia sebenarnya ibunya. Kunti menyuruh Karna agar memihak Pandawa. Karna mengatakan bahwa ia hanya mengakui Radha sebagai ibunya dan tetap memihak Korawa. Karna juga mengatakan, bahwa ia hanya mau membunuh Arjuna, bukan Pandawa yang lain.

Berguru pada Parasurama

Karena ingin menjadi seorang kesatria, Karna berguru kepada Parasurama. Parasurama adalah seorang Brahmana-Kshatriya yang sudah sangat berpengalaman dalam ilmu peperangan, dan sudah berumur panjang, dari zaman Treta Yuga (zaman Ramayana) sampai zaman Dwapara Yuga (zaman Mahabharata). Parasurama memiliki pengalaman yang buruk dengan kasta ksatria, dan sejak itu ia enggan untuk mengajar para kesatria. Karna yang sebenarnya seorang kesatria, menyamar sebagai seorang brahmana agar mendapat pendidikan dari Parasurama.

Pada suatu hari, saat Parasurama ingin beristirahat, Karna melayaninya dengan membiarkan sang guru tertidur di pahanya. Ketika Parasurama sedang tertidur, datanglah seekor serangga menggigit kaki Karna. Karna tidak ingin membiarkan gurunya terbangun, maka ia biarkan serangga tersebut mengigit kakinya. Darah segar mengucur dari kaki Karna, namun ia tidak bergeming. Saat Parasurama terbangun, ia terkejut karena melihat kaki Karna mengeluarkan banyak darah. Ia kemudian bertanya pada Karna, kenapa ia tidak mengusir laba-laba tersebut dan membiarkan serangga itu mengigit kakinya. Karna menjawab, bahwa ia tidak ingin membiarkan gurunya terbangun. Parasurama berkata, "Kekuatan seperti itu hanya dimiliki oleh kaum kesatria, dan bukan seorang brahmana. Engkau telah berbohong kepadaku dengan menyamar sebagai anak brahmana. Aku mengutukmu agar kelak segala ilmu yang kuberikan kepadamu tidak akan berguna saat kau sangat membutuhkannya".

Setelah menerima kutukan tersebut, Karna sedih dan meninggalkan asrama gurunya dengan hati hancur. Setelah berjalan tanpa tujuan, Karna duduk di tepi pantai sambil termangu-mangu memikirkan jati dirinya. Dia duduk di sana untuk beberapa lama, kemudian bangun lalu pergi. Ketika ia kembali ke tempat tersebut, ia melihat sesosok binatang yang berlalu cepat sekali. Karena ia merasa bahwa hewan tersebut adalah seekor rusa, ia melepaskan anak panahnya ke arah sosok tersebut. Ketika ia mendekatinya, ia terkejut bahwa yang dipanahnya bukanlah seekor rusa, melainkan sapi milik seorang brahmana. Karna meminta ma'af kepada si pemilik sapi sebab ia telah ceroboh, tetapi brahmana itu tida memafkannya, malah sebaliknya menjadi sangat marah. Brahmana tersebut berkata, "Apabila engkau berperang melawan musuhmu yang hebat, roda keretamu akan terjerembab ke tanah. Dan karena engkau telah membunuh sapiku yang sedang lengah, engkau juga akan dibunuh oleh musuhmu sangat engkau lengah".

Setelah mendengar kutukan yang ditujukan kepadanya, Karna lunglai. Lalu ia pulang menemui Radha, ibu yang sangat dicintainya. Di sana ia menceritakan segala kisah sedih yang menimpa dirinya. Akhirnya Karna bertekad bahwa ia akan pergi mengadu nasib di Hastinapura, ibukota kerajaan para keturunan Kuru.

Penobatan sebagai Raja Angga

Di Hastinapura diadakan pertandingan dan adu kekuatan untuk menunjukkan bahwa pendidikan para pangeran di sana sudah berhasil. Karna yang percaya diri datang ke stadion dimana pertandingan diadakan dan menantang Arjuna ketika Arjuna sedang menunjukkan kepandaiannya dalam ilmu memanah. Para hadirin yang ada di stadion heran melihat Karna yang berani menantang Arjuna, kesatria bangsa Kuru. Saat melihat Karna, Kunti menjadi lunglai.

Arjuna menerima tantangan Karna untuk menunjukkan yang terbaik. Ketika kedua kesatria bersiap-siap, Krepa naik ke atas panggung dan menanyakan identitas Karna. Ia juga berkata bahwa Karna boleh bertanding dengan Arjuna apabila mereka sederajat. Setelah mendengar kata-kata Krepa, Karna diam dan menunduk malu sebab ia merupakan seorang anak kusir. Duryodana yang bersimpati, berdiri dan berkata, "Guruku, keberanian bukanlah milik para kesatria saja. Tetapi kalau Arjuna ini dijadikan patokan bahwa seorang kesatria harus bertarung dengan kesatria, maka keinginanmu akan kupenuhi. Kami akan menobatkan pendatang baru itu sebagai Raja Angga, sebab kerajaan itu belum memiliki raja".

Akhirnya pada saat itu juga, Karna dinobatkan menjadi Raja Angga. Para brahmana membacakan weda-weda dan Duryodana memberi mahkota, pedang, dan air penobatan kepada Karna. Karna terharu dengan kemurahan hati Duryodana. Balasan yang diinginkan oleh Duryodana hanyalah persahabatan yang kekal. Semenjak persahabatan itu terjalin, Yudistira merasa cemas sebab kekuatan sepupunya yang jahat (Korawa) menjadi semakin kuat karena dibantu oleh Karna, kesatria yang setara dengan Arjuna.

Penolakan Dropadi

Pada saat Karna sudah cukup dewasa, ia mengikuti sebuah sayembara di Kerajaan Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan puteri Dropadi. Para Pandawa turut serta dalam sayembara tersebut, namun mereka menyamar dengan pakaian kaum brahmana. Sebuah ikan dari kayu dipasang pada sebuah cakram berputar di atas arena, di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan tersebut. Para hadirin yang mengikuti sayembara harus menembak mata ikan yang berputar tersebut hanya dengan melihat pantulannya di bawah kolam.

Banyak kesatria yang gagal melakukannya, hingga Karna tampil ke muka. Ia memusatkan pikirannya pada bayangan ikan tersebut dan mengarahkan panahnya ke atas, namun pandangannya ke bawah, tertuju pada bayangan ikan yang terpantul pada air kolam. Kemudian Karna melepaskan panahnya dan menembus mata ikan tersebut. Sesuai dengan aturan, Karna berhasil memenangkan sayembara tersebut dan Dropadi berhak menjadi istrinya. Namun Dropadi menolak hasil sayembara tersebut, karena ia tidak mau menikah dengan Karna yang seorang anak kusir. Mendengar hal itu, Karna menjadi sakit hati dan menerima keputusan tersebut, namun dalam hatinya ia sangat marah.

Beberapa versi mengatakan bahwa Karna tidak mampu untuk menaklukkan tantangan tersebut, hanya Arjuna yang sangggup melakukannya.

Peran Karna dalam Bharatayuddha

Kresna mengetahui bahwa Karna adalah Pandawa sulung, namun lain ayah. Dan semua tahu bahwa Karna-lah pemilik Panah Kunta. Kresna sempat ingin membuat Karna memihak Pandawa pada Bharatayuddha mendatang dan ia mengatur sebuah pertemuan rahasia antara Karna dan ibunya Kunti. Karna pun memelas setelah ia melihat ibunya menangis namun ia menganjurkan ibunya untuk tetap tegar karena ia melakukan kewajiban bela negara. Ia juga memberi tahu ibunya bahwa selain dia berkorban demi negara, ia juga akan menyelamatkan para Pandawa lima karena ia tidak akan menggunakan panah Kunta untuk membunuh Arjuna dan saat ia berperang dengan Arjuna dia memastikan bahwa Arjuna tidak tahu bahwa Karna adalah kakaknya sendiri sehingga tidak segan membunuhnya.

Pada perang Bharatayuddha, ia membunuh Gatotkaca dan hampir membunuh Arjuna. Tetapi Arjuna menang bertanding dan Karna pun gugur. Baru setelah Karna gugur, para Pandawa mengetahui asal usulnya dan mereka sangat terpukul oleh hal ini.

Karna dalam pewayangan Jawa

Karna dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama.

Kelahiran

Ibu dari Karna dan Panca Pandawa yaitu Kunti, pernah mencoba sebuah aji pada masa kecilnya untuk memanggil seorang Dewa. Yang dipanggilnya adalah Dewa Matahari (Surya) dan beliau membuatnya hamil. Puteranya akan keluar dari telinga untuk menjaga keperawanan Kunti, maka dinamakannya Karna. Nama-nama Karna lainnya berhubungan dengan statusnya sebagai putera Dewa Matahari, yaitu Arkasuta, Suryatmaja dan lain sebagainya.

Oleh ibunya, Karna dihanyutkan di sungai sampai ia ditemukan oleh Adirata (seorang kusir Hastinapura) dan diangkat anak, Oleh Adirata, Karna kemudian diberi nama Aradea. Nama itu digunakan Karna sampai dewasa, hingga ia mengetahui identitas diri yang sesungguhnya.

Meskipun Karna masih saudara seibu dengan Yudistira, Werkodara (Bima), dan Arjuna, tetapi para Karna tetap berperang untuk Kurawa dalam Bharatayuddha.

Kemahiran

Karna sangat mahir menggunakan senjata panah. Kesaktiannya setara dengan Arjuna. Ia mempunyai panah andalan bernama Kuntawijayadanu. Suatu ketika, ketika terjadi uji tanding antara Korawa dengan Pandawa sebagi murid-murid Drona, Karna berhasil menandingi kesaktian Arjuna. Namun karena Karna bukan raja atau anak raja maka beliau diusir dari arena. Karena mengetahui kesaktiannya, maka Duryodana, ketua para Korawa mengangkatnya menjadi Raja Awangga. Sejak itu Karna bersumpah setia kepada Duryodana.

Senjata andalannya, yaitu panah Kunta adalah pemberian Batara Narada sebab beliau mengira bahwa Karna adalah Arjuna karena kemiripannya. Panah tersebut adalah senjata yang paling ampuh, bahkan melebihi Cakra milik Prabu Kresna dan panah Pasupati Arjuna, namun untungnya hanya sekali pakai. Sarung dari panah tersebut direbut oleh Arjuna dari Karna yang masih bernama Suryatmaja (waktu muda) setelah Narada sadar bahwa dia keliru dan memberitahukan ke Arjuna bahwa senjata itu drebut oleh Karna. Sarung dari Kunta tersebut kemudian dipakai untuk memutus tali pusar bayi Tetuka alias Gatotkaca.

Kesaktian

Karna dilahirkan memakai anting-anting dan baju kebal pemberian ayahnya (Batara Surya). Kunti, ibunya, mengenal dirinya saat adu ketrampilan murid-murid Dorna karena melihat anting-anting tersebut. Selama memakai kedua benda ini Karna tidak akan mati oleh senjata apapun. Hal ini diketahui oleh Batara Indra yang sangat menyayangi Arjuna. Oleh karena itu beliau meminta benda tersebut dengan menyamar sebagai seorang pengemis. Batara Surya mendahuluinya dengan menemui Karna terlebih dulu dan memperingatkan Karna. Tapi Karna menganggap mati dalam perang tanding lebih terhormat daripada panjang umur. Batara Surya kemudian menyarankan Karna untuk meminta senjata ampuh sebagai kompensasi atas kedua benda tersebut. Hal ini disanggupi Karna. Ketika pengemis itu datang, Karna langsung mengenalinya dan memberi hormat dan pengemis itu berubah kembali menjadi Batara Indra. Sebagai kompensasi, Batara Indra memberi senjata Kunta kepada Karna.

Janamejaya

Dalam wiracarita Mahabharata, Janamejaya (Sanskerta: जनमेजय; Janaméjaya) adalah nama seorang raja, memerintah Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahannya yang bernama Hastinapura. Ia adalah anak dari Maharaja Parikesit, sekaligus buyut Arjuna. Ia diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda karena ayahnya tewas digit Naga Taksaka.

Cerita Mahabharata konon dikisahkan oleh Bagawan Wesampayana kepada beliau.

Upacara pengorbanan ular

Pada suatu ketika, Sang Uttangka dari Takshiladesa menghadap Maharaja Janamejaya yang aru saja selesai menaklukkan wilayah tersebut. Sang Uttangka memberitahu Maharaja Janamejaya mengenai penyebab kematian ayahnya, yaitu digigit Naga Taksaka. Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut, dan para menterinya membenarkan. Akhirnya Sang Raja mengadakan upacara pengorbanan ular untuk menyapu seluruh spesies mereka dari muka bumi. Upacara tersebut dikenal dengan sebutan Sarpahoma. Para brahmana tahu bahwa kelak upacara tersebut akan digagalkan oleh seorang brahmana, namun mereka tidak memberitahukannya kepada Sang Raja.

Setelah sarana dan prasarana sudah lengkap, Sang Raja menyelenggarakan upacara. Api di tungku pengorbanan berkobar-kobar. Dengan mantra-mantra suci yang dibacakan oleh para brahmana, beribu-ribu ular (naga) melayang di langit (bagaikan terhisap) dan lenyap ditelan api pengorbanan. Pada saat pengorbanan berlangsung, munculah seorang brahmana bernama Astika. Ia memohon dengan sangat tulus kepada Maharaja Janamejaya agar menghentikan pengorbanan ular tersebut. ia mengatakan bahwa upacara tersebut tidak pantas untuk dilakukan. Karena merasa terharu dengan ketulusan Astika, Maharaja menghentikan upacaranya.

Setelah Astika pulang, Sang Raja merasa kecewa karena upacaranya tidak sempurna. Sebagai gantinya, Resi Wesampayana menuturkan sebuah kisah panjang untuk Sang Raja, yaitu kisah para kakek buyutnya – Pandawa dan Korawa – hingga pertempuran besar di Kurukshetra.

Penuturan isi Mahabharata

Sesuai keinginan Janamejaya, Resi Wesampayana memulai dari kisah para leluhur Sang Raja, yaitu Bharata, serta nenek moyangnya yang bernama Maharaja Yayati, keturunan Sang Pururawa, yang menurunkan lima putera dan mendirikan lima suku besar di India. Lima suku tersebut diturunkan oleh Yadu, Tuwasu, Druhyu, Anu, dan Puru. Leluhur Raja Janamejaya diturunkan oleh Sang Puru. Garis keturunan berlanjut kepada Bharata – Kuru – Pratipa – Santanu – dan keluarga keraton Hastinapura (Pandu, Dretarastra, Pandawa, Korawa, dan lain-lain).

Raja Janamejaya juga menyuruh Resi Wesampayana untuk menuturkan kisah Kakek buyutnya yaitu Arjuna, yang bertarung dengan sepupu mereka yaitu para Korawa, yang dipimpin oleh Duryodana. Pertempuran tersebut kemudian dikenal sebagai pertempuran besar di daratan Sang Kuru (Kurukshetra) atau Bharatayuddha (perang antara keturunan Sang Bharata).

Peninggalan Sang Raja

Upacara pengorbanan dilakukan di tepi sungai Arind di Bardan, sekarang dikenal sebagai Parham. Sebuah kolam batu konon dibangun oleh Maharaja Janamejaya untuk menandai lokasi upacara, dikenal sebagai Parikshit kund, masih ada di Distrik Mainpuri. Di dekat kota tersebut ada khera yang besar dan tinggi berisi reruntuhan sebuah benteng dan beberapa pahatan di atas batu ditemukan. Konon berasal dari zaman Maharaja Parikesit.

Keturunan Raja Janamejaya

Janamejaya menikahi Wapustama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedadata. Para keturunan Raja Janamejaya tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata.

Janamejaya yang lain

Selain Janamejaya putera Parikesit, terdapat Janamejaya lain yang merupakan:

  • Seorang tokoh dalam Mahabharata, putera Puru dan Kosalya, leluhur Pandawa dan Korawa
  • Seorang tokoh dalam Mahabharata, putera Durmukha, memihak Pandawa dalam Bharatayuddha

Indra

Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Indra (Sansekerta: इन्द्र atau इंद्र, Indra) adalah manifestasi Brahman yang bergelar sebagai Dewa cuaca dan raja kahyangan.

Oleh orang-orang bijaksana, Dewa Indra diberi gelar Dewa petir, Dewa hujan, Dewa perang, raja surga, pemimpin para Dewa, dan banyak lagi sebutan untuk Dewa Indra sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Beliau adalah Dewa yang memimpin delapan Wasu.

Dewa Indra juga terkenal dalam kitab-kitab Purana dan Itihasa. Dalam kitab-kitab tersebut posisinya lebih menonjol sebagai raja kahyangan dan pemimpin para Dewa. Dewa Indra juga disebut Dewa perang, karena Beliau dikenal sebagai Dewa yang menaklukkan tiga benteng musuh (Tri Puramtaka). Beliau memiliki senjata yang disebut Bajra. Kendaraan Beliau adalah seekor gajah yang bernama Airawata. Istri Beliau Dewi Sachi.

Dewa Indra muncul dalam kitab Mahabarata. Beliau menjemput Yudistira bersama seekor anjing, yang mencapai puncak gunung Mahameru untuk mencari Swargaloka.

Kadangkala Dewa Indra disamakan dengan Zeus dalam Mitologi Yunani. Dalam agama Buddha, beliau disamakan dengan Sakra.

Nama lain Dewa Indra

Batara Indra dalam pewayangan

Batara Indra dalam pewayangan

Dewa Indra memiliki nama lain sesuai dengan karakter dan berbagai pengalamannya. Nama lain tersebut juga mengandung suatu pujian. Nama lain Dewa Indra yakni:

  • Sakra (yang berkuasa)
  • Svargapati (raja surga)
  • Divapati (raja para Dewa)
  • Meghavahana (yang mengendarai awan)
  • Vasava (pemimpin para Wasu)

Satyawati


Satyawati (Sansekerta: सत्यवती; Satyavati) (juga disebut Durghandini dan Gandhawati) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah istri prabu Santanu dan ibu dari Citrānggada dan Wicitrawirya.

Sewaktu kecil ia berbau amis, tetapi disembuhkan oleh Resi Parasara, dan kemudian menikahinya lalu melahirkan seorang putra dan diberi nama Wyasa. Dalam versi pewayangan, ia disembuhkan oleh Resi Wyasa.

Dalam versi pewayangan, Satyawati lebih terkenal dengan nama Durgandini. Sementara itu, tokoh Setyawati sendiri adalah nama istri dari Salya.

Kelahiran

Ada seorang Raja bernama Basuparisara, bertahta di Kerajaan Chedi. Raja tersebut masih seorang keturunan Puru dan memiliki permaisuri bernama Girika. Pada suatu hari, Sang Raja pergi berburu. Di tengah hutan, ia melihat bunga-bunga bermekaran, kemudian ia teringat akan kecantikan wajah permaisurinya, Girika. Tanpa sadar air kama-nya menetes, kemudian ia tampung pada sehelai daun. Ia memanggil seekor elang yang sedang terbang di udara, bernama Çyena, untuk mengantarkan air tersebut kepada permaisurinya. Di tengah jalan air yang ditampung dalam daun tersebut jatuh di sungai Yamuna. Di sana hidup seekor ikan besar yang merupakan penjelmaan bidadari yang dikutuk. Air kama tersebut ditelan oleh Sang Ikan kemudian ikan tersebut hamil.

Di tepi sungai Yamuna, hiduplah keluarga nelayan. Kepala keluarga tersebut bernama Dasabala. Suatu hari Dasabala pergi menangkap ikan lalu ditangkapnya seekor ikan besar yang telah menelan air kama seorang raja. Karena sabda dewata, ikan tersebut tidak dimakan oleh Dasabala. Dari dalam perut ikan keluarlah dua bayi, lelaki dan perempuan. Sang ikan kemudian berubah wujudnya menjadi bidadari kembali lalu terbang ke surga. Kedua anak yang dilahirkan tersebut diserahkan kepada Raja Basuparisara. Anak yang laki-laki diberi nama Matsyapati dan diangkat menjadi Raja di Kerajaan Wirata, sedangkan anak yang perempuan dikembalikan oleh Sang Raja karena baunya amis. Anak tersebut kemudian diberi nama Durghandini karena baunya amis seperti ikan. Orangtuanya memberi Durghandini pekerjaan sebagai tukang menyeberangkan orang di Sungai Yamuna.

Pertemuan dengan Resi Parasara

Pada suatu hari, Bagawan Parasara, putera Bagawan Çakri yang merupakan cucu Maharsi Wasistha, berdiri di tepi Sungai Yamuna, minta diseberangkan dengan perahu. Durghandini menghampirinya lalu mengantarkannya ke seberang dengan perahu. Di tengah sungai, Resi Parasara terpikat oleh kecantikan Durghandini. Durghandini kemudian bercakap-cakap dengan Resi Parasara, sambil menceritakan bahwa ia terkena penyakit yang menyebabkan badannya berbau busuk. Ayahnya berpesan, bahwa siapa saja lelaki yang dapat menyembuhkan penyakitnya dijadikan suami. Mendengar hal itu, Resi Parasara mengatakan bahwa ia bersedia menyembuhkan penyakitnya, lalu ia meraba kulit Durghandini. Tak berapa lama kemudian, bau harum semerbak tersebar dan bahkan dapat tercium pada jarak seratus "Yojana". Karena Resi Parasara berhasil menyembuhkannya, maka ia berhak menjadikan Durghandini sebagai istri. Dari hasil hubungannya, lahirlah Rsi Byasa yang sangat luar biasa. Beliau mampu mengucapkan ayat-ayat Veda bahkan ketika baru lahir.

Pertemuan dengan Prabu Santanu

Pada suatu ketika Prabu Santanu dari Hastinapura mendengar desas-desus bahwa di sekitar sungai Yamuna tersebar bau yang sangat harum semerbak. Dengan rasa penasaran Prabu Santanu jalan-jalan ke sungai Yamuna. Ia menemukan sumber bau harum tersebut dari seorang gadis desa, bernama Durgandini. Prabu Santanu jatuh cinta dan hendak melamar Durghandini. Ketika Sang Raja melamar gadis tersebut, orangtuanya mengajukan syarat bahwa jika Durghandini (Gandhawati atau Satyawati) menjadi permaisuri Prabu Santanu, ia harus diperlakukan sesuai dengan Dharma dan keturunan Durghandini-lah yang haurs menjadi penerus tahta. Mendengar syarat tersebut, Sang Raja pulang dengan kecewa dan menahan sakit hati. Ia menjadi jatuh sakit karena terus memikirkan gadis pujaannya yang tak kunjung ia dapatkan.

Melihat ayahnya jatuh sakit, Dewabrata menyelidikinya. Ia bertanya kepada kusir yang mengantarkan ayahnya jalan-jalan. Dari sana ia memperoleh informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada seorang gadis. Akhirnya, ia berangkat ke sungai Yamuna. Ia mewakili ayahnya untuk melamar puteri Dasabala yang sangat diinginkan ayahnya. Ia menuruti segala persyaratan yang diajukan Dasabala. Ia juga bersumpah tidak akan menikah seumur hidup dan tidak akan meneruskan tahta keturunan Raja Kuru agar kelak tidak terjadi perebutan kekuasan antara keturunannya dengan keturunan Durghandini. Sumpahnya disaksikan oleh para Dewa dan semenjak saat itu, namanya berubah menjadi Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Dewi Durghandini menikah lalu memiliki dua orang putera bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.

Gatotkaca


Gatotkaca atau Gatutkaca (Sanskerta: घटोत्कच; ejaan: Ghaṭotkacha) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata pada saat terjadinya . Ia adalah putera Bima (Werkodara) dan Hidimbi. Karena menurun dari wujud ibunya, maka separuh badannya merupakan raksasa, yang mana hal ini banyak memberi kesaktian dan membuat dirinya menjadi seorang kesatria penting di KurukshetraBharatayuddha.

Arti nama

Dalam bahasa Sanskerta, nama Ghatotkacha secara harfiah berarti "memiliki kepala seperti kendi". Nama ini terdiri dari dua kata Sanskerta, yaitu ghaṭ(tt)am yang berarti "buli-buli" atau "kendi", dan utkacha yang berarti "kepala". Nama ini diberikan kepadanya karena sewaktu lahir kepalanya dianggap mirip dengan buli-buli atau kendi.

Keluarga

Gatotkaca adalah putera dari Bima dan Hidimbi. Ia menikah dengan Ahilawati dan memiliki anak bernama Barbarika. Dari pernikahannya dengan Dewi Pergiwa, ia memiliki seorang putera bernama Sasikirana. Cerita pernikahan antara Gatotkaca dengan Pergiwa sangat dikenal dalam cerita wayang dengan lakon Gatotkaca gandrung (masa jatuh cinta dari Gatotkaca).

Gatotkaca dalam budaya pewayangan Jawa

Dalam khazanah pewayangan Jawa Baru, tokoh Gatotkaca juga sangat populer. Gatotkaca dikatakan bahwa ia memiliki kesaktian yang sanggup terbang dan mempunyai otot kawat baja dan tulang besi. Nama lain Gatotkaca yang juga populer dalam khazanah sastra Jawa Baru adalah Tutuka atau Tetuka.

Gatotkaca mempunyai pusaka berupa Keris Kalanadhah yang didapat dari pamannya, Arjuna. Selain itu, pakaiannya merupakan pemberian dari para Dewa, antara lain pakaian Caping Basunandha (tidak akan kehujanan ataupun kepanasan), pakaian Kotang Antakusuma (bisa terbang), dan Terompah (sandal) Prabakacerma (tidak akan terganggu jika melalui jalan atau tempat yang angker).

Masa kecil

Sosok Gatotkaca (kiri) dan Abimanyu (sedang memanah) dalam sebuah lukisan tradisional dari Maharashtra, dibuat sekitar abad ke-19.
Sosok Gatotkaca (kiri) dan Abimanyu (sedang memanah) dalam sebuah lukisan tradisional dari Maharashtra, dibuat sekitar abad ke-19.

Pada masa kecil Gatotkaca, yang bernama Bambang Tetuka sudah memiliki kekuatan luar biasa yakni tali pusarnya tidak bisa dipotong dengan senjata apapun, bahkan dengan Cakram milik Kresna dan Pulanggeni milik Arjuna juga tidak mempan. Konon hanya satu senjata yang bisa memotong yakni Kuntawijayadanu yang akan diturunkan oleh Dewa kepada Arjuna. Kuntawijayadanu dicuri oleh Suryatmaja (alias Karna semasa muda). Arjuna dapat merebut Warangka Kuntawijayadanu, setelah perang tanding dengan Suryatmaja. Dengan Warangka itu pusar Tetuka dapat dipotong. Setelah pusarnya dipotong maka Bambang Tetuka dijadikan jagoan oleh para Dewa untuk menghadapi penggempur kahyangan, yakni Patih Sekipu Mantra. Gatotkaca lalu dimasukkan oleh Bhatara Narada ke kawah Candradimuka bersama dengan berbagai pusaka baja kahyangan, sehingga saat keluar dari kawah Candradimuka, Gatotkaca kecil (Bambang Tetuka) yang tadinya masih berwujud raksasa menjadi kesatria yang gagah perkasa. Dari sinilah, kemudian, Gatotkaca menjadi berotot kawat dan bertulang besi. Gatotkaca juga diberi berbagai macam pusaka serta diberi nama "Raden Krincing Wesi" (nama Gatotkaca pun di peroleh dari sini, sebagai pemberian dari Dewa).

Raden Gatotkaca lalu menjadi raja menggantikan ibunya di negara Pringgandani. Negara ini kemudian menjadi bagian dari negara Amarta atau Indraprastha, dan Raden Krincing Wesi ini mengambil gelar "Prabu Anom Gathutkaca".

Masa dewasa

Gatotkaca memiliki beberapa ajian, di antaranya: Aji Narantaka, Aji Brajadenta, Aji Brajamusti. Aji Brajadenta dan Brajamusti didapatkan setelah mengalahkan Brajadenta dan Brajamusti dalam lakon pewayangan "Brojodento Mbalelo", sedangkan Aji Narantaka didapatkan dengan beguru kepada Resi Seta. Selain itu, dia menjadi penanggung jawab keamanan udara di Indraprastha, karena kemampuannya yang bisa terbang. Di angkasa, Gatotkaca mempunyai markas yang disebut Mega Malang (awan yang melintang).

Gatotkaca mempunyai kendaraan berupa burung bernama Wilmuka (yang dulu ketika masih kecil ditaruh di atas kepala pangeran Palasara saat sedang bertapa), dan seekor burung lagi yang bernama Arimuka yang dimiliki oleh Prabu Narakasura yang secara kebetulan juga menjadi musuh bebuyutan dari Gatotkaca.

Pada masa dewasanya Gatotkaca memperistri Dewi Pergiwa, dan terpilih menjadi senapati Indraprastha pada perang Bharatayuddha, dan setelah menerima wahyu Jayaningrat serta Topeng Waja.

Bharatayuddha

Dalam cerita wayang dengan nama lakon "Gathotkaca Gugur", pada saat perang Bharatayuddha, diceritakan bahwa Adipati Karna (dari keluarga Hastinapura) berangkat perang pada waktu malam hari, dan hanya Gatotkaca yang dianggap bisa menandinginya, karena dada Gatotkaca bisa bersinar akibat kekuatan Kotang Antakusuma (baju yang dimilikinya). Namun, akhirnya Gatotkaca kalah dalam perang melawan Adipati Karna, karena Adipati Karna memiliki Pusaka ampuh bernama Kuntawijayadanu. Warangka dari pusaka Kuntawijayadanu ini masih tertanam di pusar Raden Gatotkaca sendiri, sejak dia lahir (yang waktu itu dipakai untuk mengiris tali pusarnya). Sebenarnya pusaka atau senjata Kuntawijayandanu ini tidak sampai menyentuh ke tubuh Gatotkaca, tetapi Kalabendana (roh paman Gatotkaca) membawa senjata ini sampai ke pusar Gatotkaca (sebagai balas dendam karena dahulu Gatotkaca telah membunuhnya).

Sebelum mati Gatotkaca mempunyai permintaan, yaitu bersedia mati tetapi harus diganti dengan kematian dari seribu prajurit musuh. Tubuh Gatotkaca lalu jatuh dari angkasa karena terkena pusaka Kuntawijayandanu tersebut, dan tepat mengenai kereta Adipati Karna. Sebagai akibatnya, pecahan kereta ini mencederai seribu prajurit Hastinapura sehingga semuanya tewas seketika.

Ekalawya

Ekalawya (Sansekerta: एकलव्य, ékalavya), adalah seorang pangeran dari kaum Nisada. Kaum ini adalah kaum yang paling rendah yaitu kaum pemburu, namun memiliki kemampuan yang setara dengan Arjuna dalam ilmu memanah. Bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di dunia, lalu ia pergi ke Hastina ingin berguru kepada Bagawan Drona. Tetapi ditolaknya.

Arti nama

Dalam bahasa Sansekerta, kata Ekalavya secara harfiah berarti "ia yang memusatkan pikirannya kepada suatu ilmu/mata pelajaran". Sesuai dengan arti namanya, Ekalawya adalah seorang kesatria yang memusatkan perhatiannya kepada ilmu memanah.

Penolakan Guru Drona

Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu panah lebih jauh, menuntun dirinya untuk datang ke Hastina dan berguru langsung pada Drona. Namun niatnya ditolak, dikarenakan kemampuannya yang bisa menandingi Arjuna, dan keinginan dan janji Drona untuk menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya ksatria pemanah paling unggul di jagat raya, yang mendapat pengajaran langsung dari sang guru. Ini menggambarkan sisi negatif dari Drona, serta menunjukkan sikap pilih kasih Drona kepada murid-muridnya, dimana Drona sangat menyayangi Arjuna melebihi murid-murid yang lainnya.

Belajar dibawah bayangan patung Drona

Penolakan sang guru tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu keprajuritan, ia kemudian kembali masuk kehutan dan mulai belajar sendiri dan membuat patung Drona serta memujanya dan menghormati sebagai seorang murid yang sedang menimba ilmu pada sang guru. Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalawya menjadi seorang prajurit yang gagah dengan kecapakan yang luar biasa dalam ilmu memanah, yang sejajar bahkan lebih pandai daripada Arjuna, murid kesayangan Drona. Suatu hari, ditengah hutan saat ia sedang berlatih sendiri, ia mendengar suara anjing menggonggong, tanpa melihat Ekalawya melepaskan anak panah yang tepat mengenai mulut anjing tersebut. Saat anjing tersebut ditemukan oleh para Pandawa, mereka bertanya-tanya siapa orang yang mampu melakukan ini semua selain Arjuna. Kemudian mereka melihat Ekalwya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid dari Guru Drona.

Pengorbanan seorang murid

Mendengar pengakuan Ekalawya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tidak lagi menjadi seorang prajurit terbaik, ksatria utama. Perasaan gundah Arjuna bisa dibaca oleh Drona, yang juga mengingat akan janjinya pada Arjuna bahwa hanya Arjuna-lah murid yang terbaik diantara semua muridnya. Kemudian Drona bersama Arjuna mengunjungi Ekalawya. Ekalawya dengan sigap menyembah pada sang guru. Namun ia malahan mendapat amarah atas sikap Ekalawya yang tidak bermoral, mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diangkat murid. Dalam kesempatan itu pula Drona meminta Ekalwya untuk melakukan Dakshina, permintaan guru kepada muridnya sebagai tanda terima kasih seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan. Drona meminta supaya ia memotong ibu jarinya, yang tanpa ragu dilakukan oleh Ekalawya serta menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona, meskipun dia tahu akan akibat dari pengorbanannya tersebut, ia akan kehilangan kemampuan dalam ilmu memanah. Ekalawya menghormati sang guru dan menunjukkan "Guru-bhakti". Namun tidak setimpal dengan apa yang didapatkannya yang akhirnya kehilangan kemampuan yang dipelajari dari "Sang Guru". Drona lebih mementingkan dirinya dan rasa ego untuk menjadikan Arjuna sebagai prajurit utama dan tetap yang terbaik.

Kematian sang prajurit

Kematian Ekalawya termuat dalam Srimad Bhagawatam. Ekalawya bertempur untuk Raja Jarasanda dalam peperangan melawan Sri Kresna dan Balarama, dan terbunuh dalam pertempuran oleh pasukan Yadawa.

Ekalawya dalam versi pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Ekalawya atau Ekalaya atau Ekalya (dalam cerita pedalangan dikenal pula dengan nama "Palgunadi") adalah Raja negara Paranggelung. Ekalaya mempunyai isteri yang sangat cantik dan sangat setia bernama Dewi Anggraini, puteri hapsari (bidadari) Warsiki.

Ekalaya seorang raja kesatria, yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menekuni ilmu perang. Ia sangat sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya. Ekalaya berwatak jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya.

Ekalaya adalah seseorang yang gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Prabu Ekalaya mendapatkan bisikan ghaib untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang kebetulan hanya dimiliki oleh Resi Drona. Sedangkan Sang Resi sudah berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain melainkan kepada para Pandawa dan Korawa saja. Dengan kegigihannya Prabu Ekalaya belajar sendiri dengan cara membuat patung Sang Resi dan belajar dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut.

Istri Prabu Ekalaya sangat cantik jelita sehingga membuat Arjuna berhasrat padanya, Dewi Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan Arjuna. Prabu Ekalaya mempertahankan haknya sehingga bertarung dengan Arjuna yang menyebabkan Arjuna sempat mati yang kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna

Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh 'patung' Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiaanya, Ekalaya berjanji akan membalas kematiannya pada Resi Drona.

Dalam perang Bharatayuddha, kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena, kesatria Panchala, yang memenggal putus kepala Resi Drona hingga menemui ajalnya.

Drupada

Drupada (Sanskerta: द्रुपद; Drupada), juga disebut Yajñasena (Yadnyaséna), adalah nama salah satu tokoh Mahabharata. Ia merupakan raja di Kerajaan Panchala. Pada masa mudanya merupakan teman Drona, guru para Pandawa dan Korawa di Hastinapura. Drupada memiliki seorang putera, seorang puteri, dan sorang anak waria. Masing-masing bernama Drestadyumna, Dropadi, dan Srikandi. Drupada dibunuh oleh Drona dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.

Drupada merupakan ayah Srikandi, yang dalam kehidupan sebelumnya merupakan seorang wanita bernama Amba. Karena Srikandi mengingat kehidupan masa lalunya sebagai wanita, kadangkala ia disebut Srikandini.

Drupada dalam Mahabharata

Saat masih muda, Drupada belajar bersama Drona dan menjadi temannya. Drona membuatnya berjanji untuk membagi segala kekayaannya. Kemudian, saat Drupada menjadi raja di Panchaladesa, Drona mengingatkan janjinya dan meminta kekayaannya. Drupada mengejek Drona karena janji mereka yang tak dapat dipertanggungjawabkan saat di masa muda. Dengan sangat marah, Drona menjadi guru para pangeran Kuru di Hastinapura. Setelah mereka tamat, Drona menyuruh mereka untuk mengalahkan Drupada. Dalam penyerangan yang tiba-tiba, Arjuna, salah satu Pandawa, melucuti senjata Drupada dan memaksanya untuk menyerahkan separuh kerajaannya.

Drupada dalam pewayangan Jawa

Prabu Drupada yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putera Arya Dupara dari Hargajambangan, dan merupakan keturunan ke tujuh dari Bhatara Brahma. Arya Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana atau Resi Drona dan menjadi saudara seperguruan karena sama-sama berguru pada Resi Baratmadya.

Untuk mencari pengalaman hidup, Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Hastinapura, yang dipimpin Prabu Pandudewanata (Pandu). Ia menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia dijodohkan atau dikawinkan dengan Dewi Gandawati, puteri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putera, masing-masing bernama Dewi Dropadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumena.

Ketika Prabu Gandabayu mangkat, putera mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, maka Arya Sucitra dinobatkan menjadi Raja Pancala dengan gelar Prabu Drupada. Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Drona, dan separuh dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan oleh Resi Drona dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Korawa.

Di dalam perang besar Bharatayudha, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa. Ia gugur melawan Resi Drona karena terkena Panah Cundamanik.

Duryodana


Duryodana (Sansekerta: दुर्योधन; Duryodhana) atau Suyodana adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata, musuh utama para Pandawa. Duryodana merupakan inkarnasi dari Iblis Kali. Ia lahir dari pasangan Dretarastra dan Gandari. Duryodana merupakan saudara yang tertua di antara seratus Korawa. Ia menjabat sebagai raja di Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahannya di Hastinapura.

Duryodana menikah dengan puteri Prabu Salya dan mempunyai putera bernama Laksmana (Laksmanakumara). Duryodana digambarkan sangat licik dan kejam, meski berwatak jujur, ia mudah terpengaruh hasutan karena tidak berpikir panjang dan terbiasa dimanja oleh kedua orangtuanya. Karena hasutan Sangkuni, yaitu pamannya yag licik dan berlidah tajam, ia dan saudara-saudaranya senang memulai pertengkaran dengan pihak Pandawa. Dalam perang Bharatayuddha, bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima pada pertempuran di hari kedelapan belas karena pahanya dipukul dengan gada.

Arti nama

Secara harfiah, nama Duryodana dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "sulit ditaklukkan" atau dapat pula berarti "tidak terkalahkan".

Kelahiran

Saat Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaan frustasi dn cemburu terhadap Kunti, yang telah memberikan Pandu tiga orang putera. Atas tindakannya, Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan. Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakti, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari. Kemudian Byasa memotong gumpalan daging tersebut menjadi seratus bagian, dan memasukkannya ke dalam pot. Kemudian pot-pot tersebut ditanam di dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, pot tersebut digali kembali. Yang pertama kali dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan adik-adiknya yang lain.

Tanda-tanda yang buruk mengiringi kemunculannya dari dalam pot. Para brahmana di keraton merasakan adanya tanda-tanda akan bencana yang buruk. Widura mengatakan bahwa jika tanda-tanda seperti itu mengiringi kelahiran putranya, itu tandanya kekerasan akan mengakhiri dinasti tersebut. Widura dan Bisma menyarankan agar putera tersebut dibuang, namun Dretarastra tidak mampu melakukannya karena rasa cinta dan ikatan emosional terhadap putera pertamanya itu.

Pendidikan

Tubuh Duryodana dikatakan terbuat dari petir, dan ia sangat kuat. Ia dihormati oleh adik-adiknya, khususnya Dursasana. Dengan belajar ilmu bela diri dari gurunya, yaitu Krepa, Drona dan Balarama atau Baladewa, ia menjadi sangat kuat dengan senjata gada, dan setara dengan Bima, yaitu Pandawa yang kuat dalam hal tersebut.

Persahabatan dengan Karna

Saat para Korawa dan Pandawa unjuk kebolehan saat menginjak dewasa, munculah sesosok ksatria gagah perkasa yang mengaku bernama Karna. Ia menantang Arjuna yang disebut sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Namun Krepa mengatakan bahwa Karna harus mengetahui kastanya, agar tidak sembarangan menantang seseorang yang tidak setara.

Duryodana membela Karna, kemudian mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga. Semenjak saat itu, Duryodana bersahabat dengan Karna. Baik Karna maupun Duryodana tidak mengetahui, bahwa Karna sebenarnya merupakan putera Kunti. Karna juga merupakan harapan Duryodana agar mampu meraih kemenangan saat Bharatayuddha berlangsung, karena Duryodana percaya bahwa Karna adalah lawan yang sebanding dengan Arjuna.

Perebutan kerajaan
Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan Korawa main dadu.
Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan Korawa main dadu.

Duryodana memiliki sifat iri hati terhadap kekayaan Yudistira serta kemegahannya di Indraprastha. Terlebih lagi kepada para Pandawa lainnya yang selalu membuat hatinya jengkel. Berbagai usaha ingin dilakukannya untuk menyingkirkan para Pandawa, namun selalu gagal berkat perlindungan Kresna. Duryodana memiliki seorang paman bernama Sangkuni. Sifatnya sangat licik dan senang melontarkan ide-ide buruk untuk mempengaruhi keponakannya tersebut.

Saat Duryodana datang berkunjung ke Istana Indraprastha, ia terkagum-kagum dengan kemegahan istana tersebut. Saat memasuki sebuah ruangan, ia mengira sebuah kolam sebagai lantai. Tak pelak lagi ia tercebur. Kejadian tersebut disaksikan oleh Dropadi. Ia tertawa terpingkal-pingkal dan menghina Duryodana. Ia mengatakan bahwa anak orang buta ternyata ikut buta juga. Mendengar hal itu, Duryodana sangat sakit hati. Dalam hati, ia marah besar terhadap Dropadi.

Setelah pulang dari Indraprastha, Duryodana termenung memikirkan bagaimana cara mendapatkan harta Yudistira. Melihat keponakannya murung, Sangkuni menawarkan ide licik untuk mengajak Yudistira main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Niat tersebut disetujui oleh Duryodana, termasuk Dretarastra yang terkena rayuan dan hasutan Sangkuni yang berlidah tajam. Pada hari yang dijanjikan, Yudistira bermain dadu dengan Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni. Di awal permainan, Sangkuni membiarkan Yudistira menikmati kemenangan, namun pada pertengahan permainan, kemenangan terus dimenangkan oleh Sangkuni berkat kelicikannya. Akhirnya Yudistira menyerahkan harta, kerajaan, bahkan adik-adiknya sendiri, termasuk Dropadi, istrinya.

Saat Dropadi disuruh untuk menanggalkan bajunya karena Yudistira sudah kalah taruhan, ia tidak mau melakukannya. Dengan kasar Dursasana menarik kain Dropadi. Namun berkat pertolongan gaib dari Kresna, kain yang dikenakan Dropadi tidak habis meski terus-menerus ditarik dan diulur-ulur. Akhirnya Bima bersumpah bahwa ia akan memukul paha Duryodana kelak, karena Duryodana menghina Dropadi dengan menyuruh waniat tersebut berbaring di atas pahanya.

Pertempuran di Kurukshetra
Duryodana menjelaskan situasi di medan perang Kurukshetra kepada gurunya, Drona.
Duryodana menjelaskan situasi di medan perang Kurukshetra kepada gurunya, Drona.

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang di Kurukshetra

Saat Yudistira dan Pandawa lainnya sudah menjalankan masa pembuangan selama 12 tahun dan masa penyamaran selama setahun, mereka kembali ke Hastinapura dan meminta kembali kerajaan mereka sesuai dengan perjanjian yang sah. Namun Duryodana bersikap sombong dan menolak permohonan Yudistira mentah-mentah. Yudistira kemudian meminta agar mereka diberikan lima buah desa saja, karena sudah merupakan kewajiban Pandawa untuk turut serta dalam pemerintahan sebagai pangeran Kerajaan Kuru. Duryodana pun bersikeras bahwa ia tidak akan mau memberikan tanah kepada Pandawa bahkan seluas ujung jarum pun. Duryodana menantang Pandawa untuk melakukan peperangan.

Sebelum pertempuran dimulai, Kresna datang ke hadapan Duryodana dan sesepuh Kerajaan Kuru seperti Dretarastra, Widura, Bisma, dan Drona. Ia datang untuk menyampaikan misi perdamaian. Namun usul Kresna ditolak juga oleh Duryodana. Dalam kesempatan tersebut, ia memiliki niat jahat untuk menculik Kresna. Namun Kresna mengetahui niat jahat Duryodana tersebut dan menampakkan wujud aslinya. Dengan gagalnya usaha Kresna, peperangan tak dapat dipungkiri lagi.

Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Duryodana didampingi ksatria-ksatria kuat dan dengan segenap tenaga melindunginya, seperti misalnya Bisma, Drona, Karna, Aswatama, Salya, dan lain-lain. Ia menggantungkan harapannya untuk meraih kemenangan kepada Bisma dan Karna, karena mereka adalah ksatria yang unggul dan setara, atau bahkan melebihi Arjuna. Karna yang bersumpah setia akan selalu memihak Duryodana, berusaha memberikan yang terbaik bagi sahabatnya tersebut. Namun satu-persatu ksatria besar yang memihak Duryodana, gugur di medan laga dalam usaha membela Raja Hastinapura tersebut, termasuk ksatria yang sangat diharapkan Duryodana, yaitu Bisma dan Karna. Begitu pula saudara-saudaranya, seperti misalnya Dursasana, Wikarna, Bima, Citraksa, dan lain-lain.

Akhirnya, hanya beberapa ksatria besar di pihak Korawa masih bertahan hidup, seperti misalnya Kretawarma, Krepa, Aswatama, dan Salya. Pada pertempuran di hari kedelapan belas, ia mengangkat Salya sebagai senapati pihak Korawa, namun pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Menjelang akhir peperangan tersebut, Duryodana mulai merasa cemas akan kekalahannya.

Anugerah Gandari

Ratu Gandari yang sedih dengan kematian putera-putranya, merasa cemas dengan Duryodana, putera satu-satunya yang masih bertahan hidup dalam peperangan. Agar puteranya tersebut mencapai kemenangan, ia memberikan sebuah kekuatan ajaib. Kekuatan tersebut berasal dari kedua matanya yang ia tutup. Jika kekuatan tersebut dilimpahkan kepada tubuh Duryodna, maka ia akan kebal terhadap berbagai macam serangan. Ia menyuruh Duryodana agar mandi dan memasuki tenda dalam keadaan telanjang.

Saat Duryodana ingin menghadap ibunya, ia berpapasan dengan Kresna yang baru saja datang mengunjungi ibunya. Kresna mencela dan mengejek Duryodana yang mau datang ke hadapan ibunya sendiri dalam keadaan telanjang. Karena malu, Duryodana menutupi bagian bawah perutnya, termasuk bagian pahanya.

Saat Duryodana memasuki tenda, Gandari sudah menunggunya, kemudian wanita itu membuka penutup matanya. Saat matanya terbuka, kekuatan ajaib dilimpahkan ke tubuh Duryodana. Namun ketika Gandari melihat bahwa Duryodana menutupi bagian bawah perutnya, ia berkata bahwa bagian tersebut tidak akan kebal dari serangan musuhnya karena bagian tersebut ditutupi saat Gandari melimpahkan kekuatan ajaibnya.

Pertempuran terakhir dan kematian
Prabu Suyodana (Duryodana) Sang Raja Hastina, dalam versi pewayangan Jawa.
Prabu Suyodana (Duryodana) Sang Raja Hastina, dalam versi pewayangan Jawa.

Saat Duryodana bertarung sendirian dengan Pandawa, Yudistira mengajukan tawaran, bahwa ia harus bertarung dengan salah satu Pandawa, dan jika Pandawa itu dikalahkan, maka Yudistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana. Duryodana memilih bertarung dengan senjata gada melawan Bima. Kedua-duanya memiliki kemampuan yang setara dalam memainkan senjata gada karena mereka berdua menuntut ilmu kepada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan terjadi dengan sengit, keduanya sama-sama kuat dan sama-sama ahli bergulat dan bertarung dengan senjata gada. Setelah beberapa lama, Duryodana mulai berusaha untuk membunuh Bima.

Pada waktu itu, Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya bahwa ia akan mematahkan paha Duryodana karena perbuatannya yang melecehkan Dropadi. Atas petunjuk Kresna tersebut, Bima mengingat sumpahnya kembali dan langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryodana. Setelah pahanya dipukul dengan keras, Duryodana tersungkur dan roboh. Ia mulai mengerang kesakitan, sebab bagian tubuhnya yang tidak kebal telah dipukul oleh Bima. Saat Bima ingin mengakhiri riwayat Duryodana, Baladewa datang untuk mencegahnya dan mengancam bahwa ia akan membunuh Bima. Baladewa juga memarahi Bima yang telah memukul paha Duryodana, karena sangat dilarang untuk memukul bagian itu dalam pertempuran dengan senjata gada.

Kresna kemudian menyadarkan Baladewa, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi Bima untuk menunaikan sumpahnya. Kresna juga membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Duryodana. Duryodana lebih banyak melanggar aturan-aturan perang daripada Bima. Ia melakukan penyerangan secara curang untuk membunuh Abimanyu. Ia juga telah melakukan berbagai perbuatan curang agar Indraprastha jatuh ke tangannya.

Duryodana gugur dengan perlahan-lahan pada pertempuran di hari kedelapan belas. Hanya tiga ksatria yang bertahan hidup dan masih berada di pihaknya, yaitu Aswatama, Krepa, dan Kretawarma. Setelah Duryodana gugur, ia masuk neraka, namun kemudian menikmati kesenangan di surga karena ia gugur di Kurukshetra, tanah suci yang diberkati.

Pandangan lain

Dalam pandangan para sarjana Hindu masa kini, Duryodana merupakan raja yang kuat dan cakap, serta memerintah dengan adil, namun bersikap licik dan jahat saat berusaha melawan saudaranya (Pandawa). Seperti Rawana, Duryodana sangat kuat dan berjaya, dan ahli dalam ilmu agama, namun gagal untuk mempraktekkannya dalam kehidupan. Namun kebanyakan umat Hindu memandangnya sebagai orang jahat yang suka mencari masalah.

Duryodana juga merupakan salah satu tokoh yang sangat menghormati orangtuanya. Meskipun dianggap bersikap jahat, ia tetap menyayangi ibunya, yaitu Gandari. Setiap pagi sebelum berperang ia selalu mohon do'a restu, dan setiap kali ia berbuat demikian, ibunya selalu berkata bahwa kemenangan hanya berada di pihak yang benar. Meskipun jawaban tersebut mengecilkan hati Duryodana, ia tetap setia mengunjungi ibunya setiap pagi.

Di wilayah Kumaon di Uttranchal, beberapa kuil yang indah ditujukan untuk Duryodana dan ia dipuja sebagai dewa kecil. Suku Kumaon di pegunungan memihak Duryodana dalam Bharatayuddha. Ia dipuja sebagai pemimpin yang cakap dan dermawan.

Dursasana


Dursasana atau Duhsasana (ejaan Sansekerta: Duśśāsana) merupakan adik dari Duryodana, salah seorang Korawa yang cukup terkenal. Ia putra Prabu Dretarasta dengan Dewi Gandari. Badannya gagah, mulutnya lebar dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, menggoda wanita dan senang menghina orang lain. Ia mempunyai seorang istri bernama Dewi Saltani, dan berputra satu orang yakni Dursala.

Arti nama

Nama Dursasana terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu dur atau duh, dan śāsana. Secara harfiah, kata Dusśāsana memiliki arti "sulit untuk dikuasai" atau "sulit untuk diatasi".

Kelahiran

Saat Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaan frustasi dan cemburu terhadap Kunti, yang telah memberikan Pandu tiga orang putera. Atas tindakannya, Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan. Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakti, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari. Kemudian Byasa memotong gumpalan daging tersebut menjadi seratus bagian, dan memasukkannya ke dalam pot. Kemudian pot-pot tersebut ditanam di dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, pot tersebut digali kembali. Yang pertama kali dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan adik-adiknya yang lain.

Pelecehan Dropadi
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna

Saat Yudistira kalah main dadu dengan Duryodana, Dropadi yang menjadi taruhannya jatuh ke tangan Duryodana. Duryodana mengutus pengawalnya untuk menjemput Dropadi, namun Dropadi menolak. Kemudian Duryodana mengutus adiknya sendiri, yaitu Dursasana. Dengan kasar ia datang ke kediaman Dropadi kemudian menjambak rambut Dropadi serta menyeretnya sampai di arena dadu, dimana suami beserta ipar-iparnya berkumpul. Kemudian Duryodana menyuruh Pandawa dan Dropadi untuk menanggalkan pakaian mereka sebab harta mereka sudah menjadi milik Duryodana.

Dropadi yang menolak untuk melepaskan pakaiannya, dipaksa oleh Dursasana. Dropadi memuja-muja Tuhan agar mendapatkan pertolongan. Kemudian Kresna muncul secara gaib (kasat mata) dan memberi keajaiban kepada pakaian Dropadi agar kain yang dikenakannya tidak habis-habis meski ditarik terus-menerus. Saat Dursasana menarik pakaian Dropadi dengan paksa, kain sari yang melilit di tubuhnya tidak habis-habis meski terus diulur-ulur. Akhirnya Dursasana merasa lelah dan pakaian Dropadi tidak berhasil dilepas.

Atas tindakan tersebut, Bima bersumpah bahwa kelak ia akan membunuh Dursasana, merobek dadanya, dan meminum darahnya.

Kematian

Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Bima membunuh Dursasana, merobek dadanya, dan meminum darahnya. Kemudian Bima membawa darah Dursasana kepada Dropadi. Dropadi mengoleskan darah tersebut pada rambutnya, sebagai tanda bahwa dendamnya terbalas. Kemattian Dursasana mengguncang perasaan Duryodana. Ia sangat sedih telah kehilangan saudaranya yang tercinta tersebut. Semenjak itu ia bersumpah akan membunuh Bima.

Dursasana dalam pewayangan Jawa

Dursasana dikenal pula dalam khazanah pewayangan Jawa. Misalkan menurut cerita pedalangan Yogyakarta ia tewas dalam kisah Bratayuda babak 5 lakon Timpalan / Burisrawa Gugur atau lakon Jambakan / Dursasana Gugur. Menurut tradisi Jawa ia berkediaman di wilayah Banjarjungut, peninggalan mertuanya.

Dalam kisah "Pandawa Dadu" (Sabhaparwa), Yudistira kalah bermain dadu sehingga kekayaan, keraton, saudara-saudara, dan istrinya telah berada dalam kekuasaan Korawa sebagai pembayaran taruhan. Dursasanalah yang paling bernafsu untuk menelanjangi Dropadi (istri Yudistira), sehingga Drupadi bersumpah akan menggulung rambutnya yang panjang jika telah keramas dengan darah dari Dursasana, begitu pula Bima bersumpah akan meminum darah Dursasana sebelum mati.

Dursasana tewas di tangan Bima dalam perang Bharatayuddha.

Dursala


Dursala (alias Dushala, atau Dussala, dll) adalah nama adik perempuan Duryodana dalam kisah wiracarita India, Mahabharata. Ia satu-satunya Korawa yang berjenis kelamin wanita. Ia menikahi Jayadrata, Raja Kerajaan Sindhu dan Kerajaan Sauwira. Jayadrata dibunuh oleh Arjuna saat perang di Kurukshetra. Dursala memiliki seorang putera bernama Suratha. Cucunya bertarung dengan Arjuna, ketika ia mengunjungi Kerajaan Sindhu setelah perang di Kurukshetra, untuk mengumpulkan upeti demi mendukung upacara Aswameddha yang diselenggarakan Yudistira.

Dursala dalam pewayangan Jawa

Dalam budaya pewayangan Jawa, Dursala juga disebut Dursilawati. Ia satu-satunya Korawa yang berjenis kelamin wanita. Dalam pewayang Jawa, ia memiliki sifat buruk, yaitu sangat menyukai lelaki suami orang dan suka menggoda. Bahkan ia pernah menggoda Arjuna, Pandawa yang paling tampan.


Durmagati


Dalam wiracarita Mahabharata, Durmagati adalah seorang tokoh Korawa yang barangkali merupakan yang paling kocak apabila sedang dimainkan/dibawakan sifatnya oleh dalang.

Durmagati mempunyai badan yang lebih pendek dan gemuk dari kebanyakan saudara-saudaranya. Dengan ciri khas lehernya yang sangat pendek dan kepala seperti tertekan ke bawah sehingga wajahnya menengadah ke atas.

Bicaranya bindeng (seperti orang pilek, tidak jelas) dan kata-katanya justru selalu menyudutkan Sangkuni yang selalu mempengaruhi korawa untuk memusnahkan Pandawa. Jadi sebenarnya ia tahu bahwa pihak Korawa bersalah karena hasutan-hasutan licik Sangkuni. Namun semua kata-katanya diucapkan dengan gayanya yang kocak sehingga tidak dianggap serius oleh Sangkuni.

Dropadi


Dropadi atau Draupadi (Sanskerta: द्रौपदी; Draupadī) adalah salah satu tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah puteri Prabu Drupada, raja di Kerajaan Panchala. Pada kitab Mahabharata versi aslinya, Dropadi adalah istri para Pandawa lima semuanya. Tetapi dalam tradisi pewayangan Jawa di kemudian hari, ia hanyalah permaisuri Prabu Yudistira saja.

Arti nama

Pada mulanya, Dropadi diberi nama "Kresna", merujuk kepada warna kulitnya yang kehitam-hitaman. Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna secara harfiah berarti gelap atau hitam. Lambat laun ia lebih dikenal sebagai "Dropadi" (ejaan Sanskerta: Draupadī), yang secara harfiah berarti "puteri Drupada". Nama "Pañcali" juga diberikan kepadanya, yang secara harfiah berarti "puteri Kerajaan Panchala". Karena ia merupakan saudari dari Drestadyumna, maka ia juga disebut Yajñasenī.

Kelahiran
"Dropadi dihina di muka umum". Lukisan India modern karya Raja Ravi Varma.
"Dropadi dihina di muka umum". Lukisan India modern karya Raja Ravi Varma.

Dropadi merupakan anak yang lahir dari hasil Putrakama Yadnya, yaitu ritual untuk memperoleh keturunan. Dalam kitab Mahabharata diceritakan bahwa setelah Drupada dipermalukan oleh Drona, ia pergi ke dalam hutan untuk merencanakan pembalasan dendam. Kemudian ia memutuskan untuk memperoleh seorang putera yang akan membunuh Drona, serta seorang puteri yang akan menikah dengan Arjuna. Atas bantuan dari Resi Jaya dan Upajaya, Drupada melangsungkan Putrakama Yadnya dengan sarana api suci. Dropadi lahir dari api suci tersebut.

Perkawinan dengan para Pandawa

Dalam kitab Mahabharata versi India dan dalam tradisi pewayangan di Bali, Dewi Dropadi bersuamikan lima orang, yaitu Panca Pandawa. Pernikahan tersebut terjadi setelah para Pandawa mengunjungi Kerajaan Panchala dan mengikuti sayembara di sana. Sayembara tersebut diikuti oleh para kesatria terkemuka di seluruh penjuru daratan Bharatawarsha (India Kuno), seperti misalnya Karna dan Salya. Para Pandawa berkumpul bersama para kesatria lain di arena, namun mereka tidak berpakaian selayaknya seorang kesatria, melainkan menyamar sebagai brahmana. Di tengah-tengah arena ditempatkan sebuah sasaran yang harus dipanah dengan tepat oleh para peserta dan yang berhasil melakukannya akan menjadi istri Dewi Dropadi.

Para peserta pun mencoba untuk memanah sasaran di arena, namun satu per satu gagal. Karna berhasil melakukannya, namun Dropadi menolaknya dengan alasan bahwa ia tidak mau menikah dengan putera seorang kusir. Karna pun kecewa dan perasaannya sangat kesal. Setelah Karna ditolak, Arjuna tampil ke muka dan mencoba memanah sasaran dengan tepat. Panah yang dilepaskannya mampu mengenai sasaran dengan tepat, dan sesuai dengan persyaratan, maka Dewi Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun para peserta lainnya menggerutu karena seorang brahmana mengikuti sayembara sedangkan para peserta ingin agar sayembara tersebut hanya diikuti oleh golongan kesatria. Karena adanya keluhan tersebut maka keributan tak dapat dihindari lagi. Arjuna dan Bima bertarung dengan kesatria yang melawannya sedangkan Yudistira, Nakula, dan Sadewa pulang menjaga Dewi Kunti, ibu mereka. Kresna yang turut hadir dalam sayembara tersebut tahu siapa sebenarnya para brahmana yang telah mendapatkan Dropadi dan ia berkata kepada para peserta bahwa sudah selayaknya para brahmana tersebut mendapatkan Dropadi sebab mereka telah berhasil memenangkan sayembara dengan baik.

Setelah keributan usai, Arjuna dan Bima pulang ke rumahnya dengan membawa serta Dewi Dropadi. Sesampainya di rumah didapatinya ibu mereka sedang tidur berselimut sambil memikirkan keadaan kedua anaknya yang sedang bertarung di arena sayembara. Arjuna dan Bima datang menghadap dan mengatakan bahwa mereka sudah pulang serta membawa hasil meminta-minta. Dewi Kunti menyuruh agar mereka membagi rata apa yang mereka peroleh. Namun Dewi Kunti terkejut ketika tahu bahwa putera-puteranya tidak hanya membawa hasil meminta-minta saja, namun juga seorang wanita. Dewi Kunti tidak mau berdusta maka Dropadi pun menjadi istri Panca Pandawa.

Upacara Rajasuya
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna. (Gambar dari kitab Bhagawad Gita yang diterbitkan oleh yayasan ISKCON)
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna. (Gambar dari kitab Bhagawad Gita yang diterbitkan oleh yayasan ISKCON)

Pada saat Yudistira menyelenggarakan upacara Rajasuya di Indraprastha, seluruh kesatria di penjuru Bharatawarsha diundang, termasuk sepupunya yang licik dan selalu iri, yaitu Duryodana. Duryodana dan Dursasana terkagum-kagum dengan suasana balairung Istana Indraprastha. Mereka tidak tahu bahwa di tengah-tengah istana ada kolam. Air kolam begitu jernih sehingga dasarnya kelihatan sehingga tidak tampak seperti kolam. Duryodana dan Dursasana tidak mengetahuinya lalu mereka tercebur. Melihat hal itu, Dropadi tertawa terbahak-bahak. Duryodana dan Dursasana sangat malu. Mereka tidak dapat melupakan penghinaan tersebut, apalagi yang menertawai mereka adalah Dropadi yang sangat mereka kagumi kecantikannya.

Ketika tiba waktunya untuk memberikan jamuan kepada para undangan, sudah menjadi tradisi bahwa tamu yang paling dihormati yang pertama kali mendapat jamuan. Atas usul Bisma, Yudistira memberikan jamuan pertama kepada Sri Kresna. Melihat hal itu, Sisupala, saudara sepupu Sri Kresna, menjadi keberatan dan menghina Sri Kresna. Penghinaan itu diterima Sri Kresna bertubi-tubi sampai kemarahannya memuncak. Sisupala dibunuh dengan Cakra Sudarsana. Pada waktu menarik Cakra, tangan Sri Kresna mengeluarkan darah. Melihat hal tersebut, Dewi Dropadi segera menyobek kain sarinya untuk membalut luka Sri Kresna. Pertolongan itu tidak dapat dilupakan Sri Kresna.

Dropadi dipermalukan di muka umum


Setelah menghadiri upacara Rajasuya, Duryodana merasa iri kepada Yudistira yang memiliki harta berlimpah dan istana yang megah. Melihat keponakannya termenung, muncul gagasan jahat dari Sangkuni. Ia menyuruh keponakannya, Duryodana, agar mengundang Yudistira main dadu dengan taruhan harta, istana, dan kerajaan di Indraprastha. Duryodana menerima usul tersebut karena yakin pamannya, Sangkuni, merupakan ahlinya permainan dadu dan harapan untuk merebut kekayaan Yudistira ada di tangan pamannya. Duryodana menghasut ayahnya, Dretarastra, agar mengizinkannya bermain dadu. Yudistira yang juga suka main dadu, tidak menolak untuk diundang.
Adegan Dropadi ditelanjangi oleh Dursasana dalam sebuah lukisan tradisional dari daerah Punjab, dibuat sekitar abad ke-18.
Adegan Dropadi ditelanjangi oleh Dursasana dalam sebuah lukisan tradisional dari daerah Punjab, dibuat sekitar abad ke-18.

Yudistira mempertaruhkan harta, istana, dan kerajaannya setelah dihasut oleh Duryodana dan Sangkuni. Karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, maka ia mempertaruhkan saudara-saudaranya, termasuk istrinya, Dropadi. Akhirnya Yudistira kalah dan Dropadi diminta untuk hadir di arena judi karena sudah menjadi milik Duryodana. Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi, namun Dropadi menolak. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun Dropadi menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna yang melihat Dropadi dalam bahaya. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.

Kematian
Dewi Dropadi dalam wujud wayang Jawa.
Dewi Dropadi dalam wujud wayang Jawa.

Dalam kitab Mahaprasthanikaparwa diceritakan, setelah Dinasti Yadu musnah, para Pandawa beserta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjalanan suci mengelilingi Bharatawarsha. Sebagai tujuan akhir perjalanan, mereka menuju pegunungan Himalaya setelah melewati gurun yang terbentang di utara Bharatawarsha. Dalam perjalanan menuju ke sana, Dropadi meninggal dunia.

Suami dan keturunan

Dalam kitab Mahabharata versi aslinya, dan dalam tradisi pewayangan di Bali, suami Dropadi berjumlah lima orang yang disebut Pandawa. Dari hasil hubungannya dengan kelima Pandawa ia memiliki lima putera, yakni:

1. Pratiwinda (dari hubungannya dengan Yudistira)
2. Sutasoma (dari hubungannya dengan Bima)
3. Srutakirti (dari hubungannya dengan Arjuna)
4. Satanika (dari hubungannya dengan Nakula)
5. Srutakama (dari hubungannya dengan Sadewa)

Kelima putera Pandawa tersebut disebut Pancawala atau Pancakumara.

Dropadi dalam pewayangan Jawa

Dalam budaya pewayangan Jawa, khususnya setelah mendapat pengaruh Islam, Dewi Dropadi diceritakan agak berbeda dengan kisah dalam kitab Mahabharata versi aslinya. Dalam cerita pewayangan, Dewi Dropadi dinikahi oleh Yudistira saja dan bukan milik kelima Pandawa. Cerita tersebut dapat disimak dalam lakon "Sayembara Gandamana". Dalam lakon tersebut dikisahkan, Yudistira mengikuti sayembara mengalahkan Gandamana yang diselenggarakan Raja Dropada. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara, berhak memiliki Dropadi. Yudistira ikut serta namun ia tidak terjun ke arena sendirian melainkan diwakili oleh Bima. Bima berhasil mengalahkan Gandamana dan akhirnya Dropadi berhasil didapatkan. Karena Bima mewakili Yudistira, maka Yudistiralah yang menjadi istri Dropadi. Dalam tradisi pewayangan Jawa, putera Dropadi dengan Yudistira bernama Raden Pancawala. Pancawala sendiri merupakan sebutan untuk lima putera Pandawa.

Akulturasi budaya

Terjadinya perbedaan cerita antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Setelah Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu runtuh, munculah Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan dengan hukum agama Islam. Pertunjukan wayang yang pada saat itu sangat digemari oleh masyarakat, tidak diberantas ataupun dilarang melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam.

Dretarastra


Dretarastra (Sansekerta: धृतराष ; Dhritarāshtra) dalam wiracarita Mahabharata, adalah putera Wicitrawirya dan Ambika. Ia buta semenjak lahir, karena ibunya menutup mata sewaktu mengikuti upacara Putrotpadana yang diselenggarakan oleh Resi Byasa untuk memperoleh keturunan. Ia merupakan saudara tiri Pandu, dan lebih tua darinya. Sebenarnya Dretarastra yang berhak menjadi Raja Hastinapura karena ia merupakan putera Wicitrawirya yang tertua. Akan tetapi beliau buta sehingga pemerintahan harus diserahkan adiknya. Setelah Pandu wafat, ia menggantikan jabatan adiknya tersebut. Dretarastra adalah bapak dari para Korawa dan suami Gandari.

Kelahiran

Ayah Dretarastra adalah Wicitrawirya dan ibunya adalah Ambika. Setelah Wicitrawirya wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, untuk menemui Resi Byasa, sebab Sang Resi akan mengadakan suatu upacara bagi mereka agar memperoleh keturunan. Satyawati menyuruh Ambika agar menemui Resi Byasa di ruang upacara. Setelah Ambika memasuki ruangan upacara, ia melihat wajah Sang Resi sangat dahsyat dengan mata yang menyala-nyala. Hal itu membuatnya menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, maka anaknya terlahir buta. Anak tersebut adalah Dretarastra.

Masa pemerintahan

Karena Dretarastra terlahir buta, maka tahta kerajaan diserahkan kepada adiknya, yaitu Pandu. Setelah Pandu wafat, Dretarastra menggantikannya sebagai raja (kadangkala disebut sebagai pejabat pemerintahan untuk sementara waktu). Dalam memerintah, Dretarastra didampingi oleh keluarga dan kerabatnya, yaitu sesepuh Wangsa Kuru seperti misalnya Bisma, Widura, Drona, dan Krepa.

Saat putera pertamanya yaitu Duryodana lahir, Widura dan Bisma menasihati Dretarastra agar membuang putera tersebut karena tanda-tanda buruk menyelimuti saat-saat kelahirannya. Namun karena rasa cintanya terhadap putera pertamanya tersebut, ia tidak tega melakukannya dan tetap mengasuh Duryodana sebagai puteranya.

Perebutan kekuasaan

Duryodana berambisi agar dirinya menjadi penerus tahta Kerajaan Kuru di Hastinapura. Dretarastra juga menginginkan hal yang sama, namun ia harus bersikap adil terhadap Yudistira, yang lebih dewasa daripada Duryodana. Saat Dretarastra mencalonkan Yudistira sebagai raja, hal itu justru menimbulkan rasa kecewa yang sangat dalam bagi Duryodana. Setelah melalui perundingan, dan atas saran Bisma, Kerajaan Kuru dibagi dua. Wilayah Hastinapura diberikan kepada Duryodana sedangkan Yudistira diberikan wilayah yang kering, miskin, dan berpenduduk jarang, yang dikenal sebagai Kandawaprasta. Atas bantuan dari sepupu Yudistira, yaitu Kresna dan Baladewa, mereka mengubah daerah gersang tersebut menjadi makmur dan megah, dan dikenal sebagai Indraprastha.

Permainan dadu



Dretarastra adalah salah satu dari beberapa sesepuh Wangsa Kuru yang hadir menyaksikan permainan dadu antara Duryodana, Dursasana, dan Karna yang diwaklili oleh Sangkuni, melawan Pandawa yang diwakili Yudistira. Yudistira kehilangan segala kekayaannya dalam permainan dadu tersebut, termasuk kehialngan saudara dan istrinya. Saat Dropadi berusaha ditelanjangi di depan para hadirin dalam balairung permainan dadu, Dretarastra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia tidak melarang tindakan Dursasana yang hendak melepaskan pakaian Dropadi. Setelah usaha Dursasana untuk menelanjangi Dropadi tidak berhasil, Bima bersumpah bahwa kelak ia akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya. Kemudian Dretarastra merasakan firasat buruk bahwa keturunannya akan binasa. Ia segera membuat suatu kebijakan, agar segala harta Yudistira yang akan menjadi milik Duryodana segera dikembalikan. Ia juga menyuruh agar Yudistira dan saudaranya segera pulang segera ke Indraprastha.

Namun, karena bujukan Duryodana dan Sangkuni, permainan dadu diselenggarakan untuk yang kedua kalinya. Kali ini taruhannya bukan harta, melainkan siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, setelah itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan setelah itu diperbolehkan untuk kembali ke kerajaannya. Yudistira pun tidak menolak dengan harapan akan memperoleh kemenangan, namun keberuntungan tidak memihak Yudistira. Akhirnya, Yudistira beserta istri dan saudara-saudaranya mengasingkan diri ke hutan dan meninggalkan kerajaan mereka.

Saat Pandawa meninggalkan kerajaannya, Dretarastra masih dibayangi oleh dendam para Pandawa atas penghinaan yang dilakukan oleh putera-puteranya. Karena tindakan Dretarastra yang tidak berbicara sepatah kata pun saat Dropadi berusaha ditelanjangi di depan umum, ia dikritik agar lebih mementingkan kewajiban sebagai raja daripada rasa cinta sebagai seorang ayah.

Pertempuran di Kurukshetra

Dretarastra memiliki seorang pemandu yang bernama Sanjaya. Sanjaya adalah keponakan Dretarastra karena ia merupakan putera Widura, yaitu adik tiri Dretarastra. Sanjaya diberi anugerah oleh Resi Byasa agar ia bisa melihat masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Ialah yang menjadi reporter perang di Kurukshetra bagi Dretarastra. Ia pula yang turut menyaksikan wujud Wiswarupa dari Sri Kresna menjelang pertempuran di Kurukshetra berlangsung.

Saat Dretarastra dihantui kecemasan akan kehancuran putera-puteranya, ia selalu bertanya kepada Sanjaya mengenai keadaan di medan Kuru atau Kurukshetra. Berita yang dilaporkan oleh Sanjaya kebanyakan berupa berita duka bagi Dretarastra, sebab satu-persatu puteranya dibunuh oleh Arjuna dan Bima. Sanjaya juga berkata bahwa apabila Kresna dan Arjuna berada di pihak Pandawa, maka di sanalah terdapat kejayaan, kemashyuran, kekuatan luar biasa, dan moralitas. Meskipun laporan Sanjaya sering mengecilkan hati Dretarastra dan memojokkan putera-puteranya, namun Dretarastra tetap setia mengikuti setiap perkembangan yang terjadi dalam pertempuran di Kurukshetra.

Penghancuran patung Bima
Dretarastra terbakar oleh api sucinya sendiri
Dretarastra terbakar oleh api sucinya sendiri

Pada akhir pertempuran, Dretarastra menahan rasa duka dan kemarahannya atas kematian seratus puteranya. Saat ia bertemu para Pandawa yang meminta restunya karena mereka menjadi pewaris tahta, ia memeluk mereka satu persatu. Ketika tiba giliran Bima, pikiran jahat merasuki Dretarastra dan rasa dendamnya muncul kepada Bima atas kematian putera-puteranya, terutama Duryodana dan Dursasana. Kresna tahu bahwa meskipun Dretarastra buta, ia memiliki kekuatan yang setara dengan seratus gajah. Maka dengan cepat Kresna menggeser Bima dan menggantinya dengan sebuah patung menyerupai Bima. Pada saat itu juga Dretarastra menghancurkan patung tersebut sampai menjadi debu. Akhirnya Bima selamat dan Dretarastra mulai mengubah perasaannya serta memberikan anugerahnya kepada Pandawa.

Kehidupan selanjutnya dan kematian

Setelah pertempuran besar di Kurukshetra berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Indraprastha sekaligus Hastinapura. Meskipun demikian, Yudistira tetap menunjukkan rasa hormatnya kepada Dretarastra dengan menetapkan bahwa tahta Raja Hastinapura masih dipegang oleh Dretarastra. Akhirnya Dretarastra memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawai dan mengembara di hutan sebagai pertapa bersama Gandari, Widura, Sanjaya, dan Kunti. Di dalam hutan di Himalaya, mereka meninggal ditelan api karena hutan terbakar oleh api suci yang dikeluarkan oleh Dretarastra.

Versi Pewayangan Jawa

Sedikit berbeda dengan versi aslinya, tokoh Dretarastra dalam pewayangan Jawa disebut sebagai putra kandung Abyasa.

Kelahiran

Dretarastra atau kadang disingkat Destarata, dilahirkan oleh Ambika dalam keadaan buta sebagai pengingat karena ketika pertama kali berjumpa dengan Abyasa, ibunya itu memejamkan mata. Kedatangan Abyasa ke negeri Hastina ialah atas undangan ibunya, yaitu Durgandini untuk menikahi janda-janda Citrawirya. Tujuannya ialah untuk menyambung garis keturunan Wangsa Bharata, karena pewaris yang sesungguhnya, yaitu Bisma, telah bersumpah untuk hidup wahdat.

Sewaktu kecil Dretarastra serta kedua adiknya, yaitu Pandu dan Widura berguru kepada Bisma tentang ilmu pemerintahan dan kesaktian. Meskipun menyandang tunanetra, namun Dretarastra mampu menguasai ilmu Lebur Geni sehingga mampu meremukkan apa saja melalui genggamannya.

Perkawinan

Dretarastra menikah dengan Gendari putri dari negeri Plasajenar. Dikisahkan Pandu pulang dari Mandura dengan membawa Kunti sebagai hadiah sayembara, serta Madrim putri dari Mandaraka. Di tengah jalan rombongan itu dihadang oleh Gendara raja Plasajenar yang terlambat mengikuti sayembara di Mandura. Pertempuran terjadi antara keduanya dan berakhir dengan kematian Gendara. Ia berwasiat menitipkan kedua adiknya, yaitu Gendari dan Sengkuni untuk dibawa Pandu.

Sesampainya di Hastina, Pandu menyerahkan ketiga putri boyongannya untuk dipilih salah satu sebagai istri Dretarastra. Kakaknya itu memilih Gendari yang diramalkannya akan memberinya banyak putra. Perkawinan tersebut memang melahirkan seratus orang anak, yang dikenal dengan nama Korawa.

Pemerintahan

Karena menyandang cacad fisik, takhta Hastina pun diserahkan kepada Pandu, sedangkan Abyasa yang bertindak sebagai raja sementara kembali ke pertapaannya di Saptaarga. Sementara itu, Dretarastra diangkat sebagai adipati (raja bawahan) di daerah Gajah Oya, sedangkan Widura di Pagombakan.

Pandu meninggal dalam usia muda sedangkan kelima putranya yang disebut Pandawa masih belum cukup dewasa. Ia pun menitipkan takhta Hastina kepada Dretarastra, serta sebuah pusaka bernama Minyak Tala kepada kakak tirinya itu.

Dengan berbagai cara, Korawa berusaha menyingkirkan Pandawa. Akhirnya Pandawa pun dinyatakan tewas dalam peristiwa Balai Sigala Gala, yaitu pembakaran kelima bersaudara itu dalam sebuah istana rapuh.

Setelah peristiwa itu, Dretarastra pun menyerahkan takhta Hastina kepada putra tertuanya yang bernama Duryudana, sedangkan dirinya kembali menjadi adipati di Gajah Oya.
Akhir Hayat

Setelah Korawa tumpas dalam perang Baratayuda, pihak Pandawa datang ke Hastina untuk mengambil hak mereka atas takhta negeri itu. Dretarastra memanggil Bimasena (Pandawa nomor dua) untuk dipeluknya. Karena curiga, Kresna selaku penasihat Pandawa memberi isyarat agar Bima menyerahkan benda lain sebagai ganti dirinya.

Bimasena pun menyodorkan pusakanya bernama Gada Rujakpolo untuk dipeluk Dretarastra. Dengan penuh rasa dendam, Dretarastra pun memeluk gada tersebut sampai hancur menggunakan ilmu Lebur Geni. Namun setelah mengetahui kalau dirinya tertipu, ia pun menyesal dan minta maaf.

Kematian Dretarastra versi pewayangan tidak jauh berbeda dibanding versi aslinya. Ia dikisahkan terbakar sewaktu bertapa bersama Gendari dan Kunti di tengah hutan.