Custom Search

Rabu, 14 Mei 2008

Karna


Karna (Sansekerta: कर्ण; Karṇa) alias Radheya adalah salah satu tokoh dari wiracaritaMahabharata yang terkenal. Ia sebenarnya adalah masih saudara satu ibu dengan tiga Pandawa, yaitu Yudistira, Werkodara dan Arjuna (Nakula dan Sadewa bukan saudara langsung Karna, melainkan saudara sepupunya).
Arti nama

Dalam bahasa Sansekerta, nama Karna secara harfiah berarti telinga. Dalam makna yang tersirat, kata "Karna" dapat juga berarti "terampil" atau "pandai". Karna juga menyandang nama "Radheya" saat masih kecil. Nama itu diberikan oleh orangtua tirinya, yaitu Adirata dan Radha. Nama "Radheya" secara harfiah berarti "putera Radha".

Anggapan terkenal mengatakan bahwa kata "Karna" dipilih sebab ia dilahirkan melalui telinga, namun anggapan tersebut tidak selamanya benar sebab beberapa versi mengatakan bahwa Karna lahir normal, dan keperawanan ibunya (Kunti) kembali lagi setelah melahirkan. Setelah bayi tersebut dilahirkan, Kunti tidak memberinya nama dan menghanyutkannnya ke sungai Aswa, lalu dipungut oleh Adirata sebagai hadiah bagi Radha. Semenjak saat itu, bayi yang dipungut oleh Adirata diberi nama Radheya. Tidak ada yang mengetahui asal-usul Karna dan bagaimana Karna dilahirkan, sampai Kunti membeberkan rahasia yang sebenarnya.

Kelahiran

Karna merupakan putera dari Kunti, ibu para Pandawa, dan ayahnya adalah Dewa Surya. Dalam Mahabharata diceritakan bahwa pada masa mudanya, Kunti diberi suatu anugerah oleh Resi Durwasa, agar mampu memanggil para Dewa dan memohon anugerah darinya. Setelah menerima anugerah tersebut, Kunti mencoba memanggil Dewa Surya. Dewa Surya pun datang ke hadapan Kunti dan menanyakan apa keinginannya. Dewi Kunti berkata bahwa ia hanya mencoba anugerah yang diberikan kepadanya, dan ia meminta agar Sang Dewa kembali ke tempat beliau. Namun Dewa Surya menolak untuk pergi ke kahyangan sebab mantra yang diberikan oleh Resi Durwasa juga berfungsi untuk meminta anak dari dewa yang telah dipanggil. Kunti yang tidak mengetahui hal tersebut menjadi terkejut. Ia tidak ingin menikah di usia muda. Akhirnya Dewa Surya berjanji bahwa kelak setelah Kunti melahirkan puteranya, keperawanannya akan dikembalikan lagi.

Kemudian Dewa Surya memberikan anugrah (dengan menyabda Kunti) berupa putra dalam kandungan Kunti, setelah itu Sang Dewa kembali ke asalnya. Beberapa lama kemudian, seorang putera lahir. Tanda-tanda bahwa kelak ia akan menjadi kesatria besar sudah tampak dari bentuk fisiknya. Sejak lahir, Karna telah menerima anugerah berupa sepasang pakaian perang, lengkap dengan sebuah kalung yang indah terpasang di lehernya. Karena tidak ingin menimbulkan desas-desus, setelah Kunti melepaskan seluruh pakaian perang yang dikenakan Karna, Kunti memasukkan putera tersebut ke dalam keranjang dan menghanyutkannya ke sungai Aswa. Putera tersebut dipungut oleh seorang kusir (kasta Suta) di keraton Hastinapura bernama Adirata. Sejak saat itu, Karna menjadi putera Adirata dan Radha, yang sebenarnya merupakan orangtua tirinya. Karena diasuh di keluarga yang berkasta Suta, Karna pun sering mendapat diskriminasi.

Kepribadian

Karna memiliki kemahiran dalam ilmu memanah yang hampir setara dengan Arjuna. ia mahir berperang, namun bakatnya terperangkap dalam status sosial yang rendah. Hal itu membuatnya haus akan status yang memberikannya identitas. Meskipun Karna diasuh dalam keluarga yang berkasta rendah, ia memiliki sikap seorang ksatria, meskipun jarang yang mengakuinya. Ia memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan Duryodana, yang telah mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga, sekaligus menaikkan statusnya. Atas perlakuan baik yang dilakukan Duryodana terhadap dirinya, Karna berjanji bahwa ia akan selalu berada di pihak Duryodana. Kebencian Karna terhadap Arjuna bertemu dalam satu jalan dengan kebencian Duryodana terhadap para Pandawa.

Karna memiliki persaingan yang sangat hebat dengan Arjuna, dan berambisi bahwa ia akan membunuh Arjuna saja saat Bharatayuddha, bukan Pandawa yang lain. Sebelum Bharatayuddha, Kunti datang ke hadapan Karna dan mengatakan bahwa ia sebenarnya ibunya. Kunti menyuruh Karna agar memihak Pandawa. Karna mengatakan bahwa ia hanya mengakui Radha sebagai ibunya dan tetap memihak Korawa. Karna juga mengatakan, bahwa ia hanya mau membunuh Arjuna, bukan Pandawa yang lain.

Berguru pada Parasurama

Karena ingin menjadi seorang kesatria, Karna berguru kepada Parasurama. Parasurama adalah seorang Brahmana-Kshatriya yang sudah sangat berpengalaman dalam ilmu peperangan, dan sudah berumur panjang, dari zaman Treta Yuga (zaman Ramayana) sampai zaman Dwapara Yuga (zaman Mahabharata). Parasurama memiliki pengalaman yang buruk dengan kasta ksatria, dan sejak itu ia enggan untuk mengajar para kesatria. Karna yang sebenarnya seorang kesatria, menyamar sebagai seorang brahmana agar mendapat pendidikan dari Parasurama.

Pada suatu hari, saat Parasurama ingin beristirahat, Karna melayaninya dengan membiarkan sang guru tertidur di pahanya. Ketika Parasurama sedang tertidur, datanglah seekor serangga menggigit kaki Karna. Karna tidak ingin membiarkan gurunya terbangun, maka ia biarkan serangga tersebut mengigit kakinya. Darah segar mengucur dari kaki Karna, namun ia tidak bergeming. Saat Parasurama terbangun, ia terkejut karena melihat kaki Karna mengeluarkan banyak darah. Ia kemudian bertanya pada Karna, kenapa ia tidak mengusir laba-laba tersebut dan membiarkan serangga itu mengigit kakinya. Karna menjawab, bahwa ia tidak ingin membiarkan gurunya terbangun. Parasurama berkata, "Kekuatan seperti itu hanya dimiliki oleh kaum kesatria, dan bukan seorang brahmana. Engkau telah berbohong kepadaku dengan menyamar sebagai anak brahmana. Aku mengutukmu agar kelak segala ilmu yang kuberikan kepadamu tidak akan berguna saat kau sangat membutuhkannya".

Setelah menerima kutukan tersebut, Karna sedih dan meninggalkan asrama gurunya dengan hati hancur. Setelah berjalan tanpa tujuan, Karna duduk di tepi pantai sambil termangu-mangu memikirkan jati dirinya. Dia duduk di sana untuk beberapa lama, kemudian bangun lalu pergi. Ketika ia kembali ke tempat tersebut, ia melihat sesosok binatang yang berlalu cepat sekali. Karena ia merasa bahwa hewan tersebut adalah seekor rusa, ia melepaskan anak panahnya ke arah sosok tersebut. Ketika ia mendekatinya, ia terkejut bahwa yang dipanahnya bukanlah seekor rusa, melainkan sapi milik seorang brahmana. Karna meminta ma'af kepada si pemilik sapi sebab ia telah ceroboh, tetapi brahmana itu tida memafkannya, malah sebaliknya menjadi sangat marah. Brahmana tersebut berkata, "Apabila engkau berperang melawan musuhmu yang hebat, roda keretamu akan terjerembab ke tanah. Dan karena engkau telah membunuh sapiku yang sedang lengah, engkau juga akan dibunuh oleh musuhmu sangat engkau lengah".

Setelah mendengar kutukan yang ditujukan kepadanya, Karna lunglai. Lalu ia pulang menemui Radha, ibu yang sangat dicintainya. Di sana ia menceritakan segala kisah sedih yang menimpa dirinya. Akhirnya Karna bertekad bahwa ia akan pergi mengadu nasib di Hastinapura, ibukota kerajaan para keturunan Kuru.

Penobatan sebagai Raja Angga

Di Hastinapura diadakan pertandingan dan adu kekuatan untuk menunjukkan bahwa pendidikan para pangeran di sana sudah berhasil. Karna yang percaya diri datang ke stadion dimana pertandingan diadakan dan menantang Arjuna ketika Arjuna sedang menunjukkan kepandaiannya dalam ilmu memanah. Para hadirin yang ada di stadion heran melihat Karna yang berani menantang Arjuna, kesatria bangsa Kuru. Saat melihat Karna, Kunti menjadi lunglai.

Arjuna menerima tantangan Karna untuk menunjukkan yang terbaik. Ketika kedua kesatria bersiap-siap, Krepa naik ke atas panggung dan menanyakan identitas Karna. Ia juga berkata bahwa Karna boleh bertanding dengan Arjuna apabila mereka sederajat. Setelah mendengar kata-kata Krepa, Karna diam dan menunduk malu sebab ia merupakan seorang anak kusir. Duryodana yang bersimpati, berdiri dan berkata, "Guruku, keberanian bukanlah milik para kesatria saja. Tetapi kalau Arjuna ini dijadikan patokan bahwa seorang kesatria harus bertarung dengan kesatria, maka keinginanmu akan kupenuhi. Kami akan menobatkan pendatang baru itu sebagai Raja Angga, sebab kerajaan itu belum memiliki raja".

Akhirnya pada saat itu juga, Karna dinobatkan menjadi Raja Angga. Para brahmana membacakan weda-weda dan Duryodana memberi mahkota, pedang, dan air penobatan kepada Karna. Karna terharu dengan kemurahan hati Duryodana. Balasan yang diinginkan oleh Duryodana hanyalah persahabatan yang kekal. Semenjak persahabatan itu terjalin, Yudistira merasa cemas sebab kekuatan sepupunya yang jahat (Korawa) menjadi semakin kuat karena dibantu oleh Karna, kesatria yang setara dengan Arjuna.

Penolakan Dropadi

Pada saat Karna sudah cukup dewasa, ia mengikuti sebuah sayembara di Kerajaan Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan puteri Dropadi. Para Pandawa turut serta dalam sayembara tersebut, namun mereka menyamar dengan pakaian kaum brahmana. Sebuah ikan dari kayu dipasang pada sebuah cakram berputar di atas arena, di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan tersebut. Para hadirin yang mengikuti sayembara harus menembak mata ikan yang berputar tersebut hanya dengan melihat pantulannya di bawah kolam.

Banyak kesatria yang gagal melakukannya, hingga Karna tampil ke muka. Ia memusatkan pikirannya pada bayangan ikan tersebut dan mengarahkan panahnya ke atas, namun pandangannya ke bawah, tertuju pada bayangan ikan yang terpantul pada air kolam. Kemudian Karna melepaskan panahnya dan menembus mata ikan tersebut. Sesuai dengan aturan, Karna berhasil memenangkan sayembara tersebut dan Dropadi berhak menjadi istrinya. Namun Dropadi menolak hasil sayembara tersebut, karena ia tidak mau menikah dengan Karna yang seorang anak kusir. Mendengar hal itu, Karna menjadi sakit hati dan menerima keputusan tersebut, namun dalam hatinya ia sangat marah.

Beberapa versi mengatakan bahwa Karna tidak mampu untuk menaklukkan tantangan tersebut, hanya Arjuna yang sangggup melakukannya.

Peran Karna dalam Bharatayuddha

Kresna mengetahui bahwa Karna adalah Pandawa sulung, namun lain ayah. Dan semua tahu bahwa Karna-lah pemilik Panah Kunta. Kresna sempat ingin membuat Karna memihak Pandawa pada Bharatayuddha mendatang dan ia mengatur sebuah pertemuan rahasia antara Karna dan ibunya Kunti. Karna pun memelas setelah ia melihat ibunya menangis namun ia menganjurkan ibunya untuk tetap tegar karena ia melakukan kewajiban bela negara. Ia juga memberi tahu ibunya bahwa selain dia berkorban demi negara, ia juga akan menyelamatkan para Pandawa lima karena ia tidak akan menggunakan panah Kunta untuk membunuh Arjuna dan saat ia berperang dengan Arjuna dia memastikan bahwa Arjuna tidak tahu bahwa Karna adalah kakaknya sendiri sehingga tidak segan membunuhnya.

Pada perang Bharatayuddha, ia membunuh Gatotkaca dan hampir membunuh Arjuna. Tetapi Arjuna menang bertanding dan Karna pun gugur. Baru setelah Karna gugur, para Pandawa mengetahui asal usulnya dan mereka sangat terpukul oleh hal ini.

Karna dalam pewayangan Jawa

Karna dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama.

Kelahiran

Ibu dari Karna dan Panca Pandawa yaitu Kunti, pernah mencoba sebuah aji pada masa kecilnya untuk memanggil seorang Dewa. Yang dipanggilnya adalah Dewa Matahari (Surya) dan beliau membuatnya hamil. Puteranya akan keluar dari telinga untuk menjaga keperawanan Kunti, maka dinamakannya Karna. Nama-nama Karna lainnya berhubungan dengan statusnya sebagai putera Dewa Matahari, yaitu Arkasuta, Suryatmaja dan lain sebagainya.

Oleh ibunya, Karna dihanyutkan di sungai sampai ia ditemukan oleh Adirata (seorang kusir Hastinapura) dan diangkat anak, Oleh Adirata, Karna kemudian diberi nama Aradea. Nama itu digunakan Karna sampai dewasa, hingga ia mengetahui identitas diri yang sesungguhnya.

Meskipun Karna masih saudara seibu dengan Yudistira, Werkodara (Bima), dan Arjuna, tetapi para Karna tetap berperang untuk Kurawa dalam Bharatayuddha.

Kemahiran

Karna sangat mahir menggunakan senjata panah. Kesaktiannya setara dengan Arjuna. Ia mempunyai panah andalan bernama Kuntawijayadanu. Suatu ketika, ketika terjadi uji tanding antara Korawa dengan Pandawa sebagi murid-murid Drona, Karna berhasil menandingi kesaktian Arjuna. Namun karena Karna bukan raja atau anak raja maka beliau diusir dari arena. Karena mengetahui kesaktiannya, maka Duryodana, ketua para Korawa mengangkatnya menjadi Raja Awangga. Sejak itu Karna bersumpah setia kepada Duryodana.

Senjata andalannya, yaitu panah Kunta adalah pemberian Batara Narada sebab beliau mengira bahwa Karna adalah Arjuna karena kemiripannya. Panah tersebut adalah senjata yang paling ampuh, bahkan melebihi Cakra milik Prabu Kresna dan panah Pasupati Arjuna, namun untungnya hanya sekali pakai. Sarung dari panah tersebut direbut oleh Arjuna dari Karna yang masih bernama Suryatmaja (waktu muda) setelah Narada sadar bahwa dia keliru dan memberitahukan ke Arjuna bahwa senjata itu drebut oleh Karna. Sarung dari Kunta tersebut kemudian dipakai untuk memutus tali pusar bayi Tetuka alias Gatotkaca.

Kesaktian

Karna dilahirkan memakai anting-anting dan baju kebal pemberian ayahnya (Batara Surya). Kunti, ibunya, mengenal dirinya saat adu ketrampilan murid-murid Dorna karena melihat anting-anting tersebut. Selama memakai kedua benda ini Karna tidak akan mati oleh senjata apapun. Hal ini diketahui oleh Batara Indra yang sangat menyayangi Arjuna. Oleh karena itu beliau meminta benda tersebut dengan menyamar sebagai seorang pengemis. Batara Surya mendahuluinya dengan menemui Karna terlebih dulu dan memperingatkan Karna. Tapi Karna menganggap mati dalam perang tanding lebih terhormat daripada panjang umur. Batara Surya kemudian menyarankan Karna untuk meminta senjata ampuh sebagai kompensasi atas kedua benda tersebut. Hal ini disanggupi Karna. Ketika pengemis itu datang, Karna langsung mengenalinya dan memberi hormat dan pengemis itu berubah kembali menjadi Batara Indra. Sebagai kompensasi, Batara Indra memberi senjata Kunta kepada Karna.

Tidak ada komentar: